MPAB dan Tugas Membebaskan: Membaca Pendidikan PMKRI Lewat Paulo Freire

Minggu lalu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang menyelenggarakan Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) dengan tema “Dipanggil untuk Bersaksi, Dipilih untuk Melayani.” Sebuah tema yang di permukaannya tampak rohani dan luhur. Namun, sesungguhnya mengandung tantangan praksis yang amat berat: bagaimana menjadi saksi di tengah kenyataan yang menindas dan bagaimana melayani tanpa terjebak menjadi alat kekuasaan yang justru menindas balik? 

‎Di sinilah MPAB tidak boleh dimaknai sekadar ritual tahunan organisasi. Ia seharusnya menjadi ruang pendidikan pembebasan, sebagaimana dimaksud oleh Paulo Freire dalam karya monumental Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Freire menolak pendidikan yang menjadikan manusia sebagai “celengan pengetahuan” ; tempat dosen, guru atau senior hanya menabungkan informasi yang harus diterima tanpa tanya. Pendidikan macam itu, katanya, adalah pendidikan penjinakan.

‎Sayangnya, sebagian proses kaderisasi organisasi mahasiswa, termasuk di tubuh PMKRI sendiri, masih berpotensi jatuh ke dalam pola pendidikan yang menidurkan daya kritis. Senior menjadi "pendidik" yang tak bisa dikritik, calon anggota menjadi "objek" yang harus patuh. Dalam situasi demikian, tema “Dipanggil untuk Bersaksi” berubah menjadi slogan kosong. Sebab bagaimana seseorang bisa bersaksi, jika sejak awal ia tak diajari untuk berbicara dengan kesadarannya sendiri?

‎Paulo Freire justru mengajak kita untuk mendidik dengan dialog. Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang belajar memahami realitasnya sendiri dan bergerak untuk mengubahnya. Maka, MPAB seharusnya menjadi arena pertama bagi calon anggota untuk belajar berpikir, berani bertanya dan menggugat kenyataan sosial-politik di sekitarnya.

‎Dalam konteks Kupang dan Nusa Tenggara Timur, realitas yang dimaksud itu jelas: kemiskinan struktural, ketimpangan pembangunan, politik uang serta lemahnya budaya literasi dan solidaritas. Seorang kader PMKRI yang “dipilih untuk melayani” tidak cukup hanya bisa berdoa atau berpidato. Ia harus mampu membaca struktur yang menindas bangsanya dan dengan pengetahuan kritis itu bisa melayani lewat kesadaran transformatif bukan sekadar seremonial.

‎Menjadi saksi berarti membuka mata terhadap kenyataan yang tak adil. Menjadi pelayan berarti mengabdi pada yang lemah, bukan pada yang berkuasa. MPAB, dalam semangat Freire, bukanlah proses untuk mencetak anggota yang “tahu aturan organisasi,” melainkan anggota yang sadar mengapa aturan itu ada dan berani mengubahnya bila menindas.

‎Karena itu, pendidikan kader PMKRI harus selalu bersifat problem-posing education yaitu pendidikan yang menantang, menggugat dan menghidupkan nalar. Hanya dengan cara itu, PMKRI tidak menjadi organisasi nostalgia melainkan pergerakan yang hidup bersama rakyat tertindas.

‎Jadi, bila tema MPAB kali ini berbunyi Dipanggil untuk Bersaksi, Dipilih untuk Melayani, maka kesaksiannya bukan di ruang ibadah melainkan di tengah dunia yang tidak adil. Dan pelayanannya bukan untuk kepentingan elite melainkan bagi kemanusiaan itu sendiri.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url