Budaya dan Positivisme Hukum: Moke di Kabupaten Sikka, Antara Warisan dan Regulasi
DPC PMKRI Cabang Kupang, Masyarakat Biasa Maumere
Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, moke bukan sekadar minuman beralkohol. Ia adalah warisan budaya yang meresap ke dalam setiap ritus adat, pertemuan sosial, hingga identitas kolektif masyarakat. Belakangan ini, tindakan razia dan penyitaan minuman beralkohol ilegal juga menimpa moke sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. Namun, pertanyaannya: apakah tindakan itu sudah memandang moke secara utuh, atau hanya sekadar mengedepankan positivisme hukum tanpa mempertimbangkan nilai filosofis, ekonomi dan budaya dari minuman ini?.
Subtansi dalam filsafat hukum, hukum tidak semata aturan tertulis yang kaku, melainkan juga harus memperhatikan dimensi moralitas dan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. Moke dalam tradisi Sikka mengandung makna yang jauh lebih luas, sebagai simbol ikatan sosial dan pewarisan nilai leluhur. Dalam konteks ini, moke bukanlah sekadar produk komersial, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Melarangnya secara tunggal dengan argumentasi hukum positif berisiko mengikis makna hidup kolektif dan moralitas budaya yang telah terpatri.
Di sisi lain, positivisme hukum menuntut aturan yang jelas dan diterapkan tanpa pandang bulu demi ketertiban dan kepastian hukum. Namun, tidak jarang hukum positif justru mengalami dissonansi ketika harus berhadapan dengan realitas keberagaman budaya. Ini adalah dilema klasik: haruskah hukum selalu menang melawan budaya? Atau hukum harus lebih lentur dan bijak memahami konteks lokal sebagai bagian dari keadilan substantif?
Moke juga memiliki peran penting dalam ekonomi masyarakat Kabupaten Sikka. Ia tidak hanya menjadi sumber pendapatan bagi para pembuat dan penjual lokal, tetapi juga turut menjaga kelangsungan ekonomi informal yang seringkali menjadi penyokong utama kehidupan desa-desa. di Kabupaten Sikka sendiri banyak Anak yang bisa sukses, bisa sekolah dan bahkan sampai sarjana dari "Moke" Dari sudut pandang ekonomi, razia dan pelarangan moke berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan dan mendorong munculnya pasar gelap yang lebih tersembunyi dan tidak terkontrol. Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam ini malah bisa memperparah kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Moke adalah bagian integral dari identitas masyarakat Sikka, yang melekat erat dalam ritual penting seperti pesta adat, tradisi menyambut tamu, dan kegiatan-kehidupan sosial lain. Kearifan lokal ini sudah berjalan turun-temurun dan membentuk ikatan komunitas yang kuat. Jika aparat penegak hukum mengabaikan dimensi ini, maka tidak sekadar minuman yang disita, melainkan juga rasa percaya dan kehormatan terhadap nilai-nilai leluhur yang terkikis.
Namun di satu sisi, masyarakat tentu harus juga terbuka pada refleksi kritis atas dampak negatif yang mungkin muncul dari konsumsi alkohol, termasuk moke. Diskursus yang sehat perlu dibangun bukan dengan cara represif melulu.
Mari kita berandai-andai, jika para penguasa hukum di Sikka kini merasa paling modern dan berpikiran maju, mengapa masih sibuk razia moke yang diwariskan sejak nenek moyang? Jangan-jangan mereka malah lupa, bahwa yang mereka buru itu bukan hanya minuman, tapi tradisi nenek moyang, cerita, tawa, dan jalinan sosial yang tidak bisa diwakilkan oleh aturan kaku semata.
Mungkin suatu hari, dalam rapat pejabat daerah, ada yang berkata: "Kalau moke dilarang, bagaimana mau selfie bareng budaya?" Sebuah ironi yang pahit. Pemerintah boleh jadi raja aturan, tapi bukan raja budaya. Budaya butuh diayomi, bukan dibasmi dengan karung razia.
Positivisme hukum adalah pondasi negara hukum, namun harus diimbangi dengan kebijaksanaan yang menghargai kearifan lokal. Daripada sekadar menyita moke, lebih baik ada dialog antara pemerintah dan masyarakat, menciptakan Sebuah regulasi yang bijaksana berkaitan dengan hal ini,memberti literasi hukum yang inklusif tanpa mengorbankan kekayaan budaya. Keseimbangan ini adalah kunci agar hukum tak hanya sekadar menang secara formal, tetapi juga menciptakan keadilan substansial yang nyata dirasakan.
Jadi, sebelum kita cepat-cepat menghakimi moke sebagai minuman ilegal,moke sebagai biang kriminalitas dan kekacauan lain mari pikirkan: apakah kita sudah benar-benar memahami makna di balik gelas itu? Atau hanya sekadar sibuk menegakkan hukum yang tak peka pada kebutuhan dan sejarah sebuah kultur budaya, dan komunitas? kekacauan bukan datang dari periuk tanah warisan nenek moyang, kriminalitas, dan kekacauan lain hanya sebagian kecil presentasinya dari kearifan lokal yang ada. subtansi dari kriminalitas dan kekacauan lainnya merupakan aspek personalitas yang subtansinya adalah pendidikan atau pemahaman akan pengetahuan sehingga kebijakan pemerintah khususnya melalui aparatur penegakan hukum harus bijaksana melihat, mengkaji, sampai pada menanggapi masalah ini.
persoalan kekerasan dan kerusakan sosial yang sering disalahkan pada moke sebenarnya lebih dalam lagi: ia berkaitan erat dengan pendidikan dan pembentukan karakter individu. Penelitian sosial dan psikologi menunjukkan bahwa tindakan kekerasan bukan semata-mata dipicu oleh konsumsi alkohol, melainkan oleh personalitas, konflik yang belum terselesaikan, dan lemahnya nilai-nilai moral yang ditanam sejak dini. Alkohol, termasuk moke, hanyalah pemicu kecil atau katalis dalam situasi yang sudah penuh dengan persoalan non-substanstif.
Dalam konteks ini, fokus pendidikan karakter dan pembentukan kesadaran sosial adalah kunci. Pendidikan yang mengajar pengendalian diri, resolusi konflik tanpa kekerasan, serta penguatan nilai-nilai budaya dan moral harus menjadi fondasi. Mereka yang terlibat dalam konflik biasanya membawa beban masalah lama yang tidak beres, dan alkohol hanya pemantik yang menyalakan api tersebut. Dengan pendidikan yang memadai, masyarakat tidak mudah terjebak dalam kerusuhan hanya karena sedikit terpancing minuman keras.
Pun demikian, pendidikan bukan berarti membiarkan konsumsi alkohol tanpa batas. Regulasi bijak yang mengatur kadar, izin produksi, serta edukasi konsumen harus berjalan beriringan. Negara dan pemerintah daerah perlu membangun dialog dengan masyarakat untuk merumuskan regulasi yang tidak mematikan aspek budaya dan ekonomi rakyat kecil, melainkan melindungi dan memberdayakan mereka.
Jika kita ingin menuntaskan masalah kekerasan dan kriminalitas yang dikaitkan dengan moke, maka solusi sejatinya bukan dengan razia membabi buta yang menganggap moke sebagai kambing hitam. Melainkan dengan kerja sistematis dalam pendidikan karakter, pemberdayaan masyarakat melalui regulasi yang inklusif dan berkeadilan, serta perlindungan terhadap hak-hak ekonomi rakyat berbasis budaya tradisional mereka.
Maka, mari berhenti menyalahkan moke sebagai biang kerusakan, dan mulai bertanggung jawab pada pembangunan kapasitas manusia yang utuh, berkarakter, dan bermartabat. Jangan sampai kita terperangkap dalam dualisme antara hukum positif yang kaku dan budaya yang hidup, tetapi lupa memperkuat pondasi pendidikan yang menjadi penyangga utama keharmonisan sosial.
Mari kita berfikir, berpendapat dan bertindak lebih bijak soal persoalan ini.
