Ketika Seorang Diktator Diangkat Jadi Pahlawan (Sebuah Satire Tentang Ingatan, Kekuasaan dan Kepalsuan Sejarah)


“Mereka yang melupakan sejarah akan dipaksa untuk menelannya kembali tapi kali ini dalam bentuk upacara.”
— Parafrase dari George Santayana (dan mungkin juga dari akal sehat yang dibungkam)

 Jadi begini: setelah dua dekade lebih kita hidup dalam era Reformasi, tiba-tiba negara datang membawa kabar ajaib: Soeharto resmi digelari Pahlawan Nasional. Aneh, tapi mungkin tidak mengejutkan. Di negeri ini, keadilan sering datang dengan seragam terbalik. Yang dulu menindas, kini dipuja. Yang dulu dipenjara, kini berceramah tentang etika.

Negara bilang, Soeharto berjasa membangun. Betul. Ia membangun banyak hal: jalan tol, irigasi dan ketakutan. Ia membangun ekonomi tapi juga membangun sistem korupsi yang bisa diwariskan turun-temurun bahkan tanpa perlu test DNA. Ia membangun stabilitas tapi stabilitas yang dibangun di atas tumpukan mayat dan kertas suara palsu.

Kalau Nietzsche masih hidup, mungkin ia akan bilang:

“Negara modern adalah monster dingin yang memanggil pembunuhnya ‘pahlawan’ demi menutupi rasa bersalah kolektifnya.”

Dalam filsafat etika, pahlawan adalah sosok yang menjadi teladan moral. Tapi di Indonesia, tampaknya teladan sudah lama kehilangan moralnya.
Kita memuja “pembangunan” tapi menutup mata dari siapa yang digusur demi fondasinya. Kita mengutip “stabilitas” tapi lupa stabilitas itu menelan darah siapa.

Jika Machiavelli hidup di Jakarta hari ini, mungkin ia akan menulis buku baru: Il Pahlawano – Seni Bertahan Hidup dengan Menghapus Dosa Lama.
Dan isinya? Cukup sederhana:

  1. Kuasai media.

  2. Bungkam sejarah.

  3. Tunggu generasi muda bosan berpikir.

  4. Lalu, mintalah negara menulis ulang masa lalumu dengan tinta kebesaran.

Di balik semua seremoni, pemberian gelar ini bukan sekadar penghargaan; ia adalah operasi kultural. Rezim tidak sekadar menulis ulang sejarah, ia juga berusaha menulis ulang ingatan moral bangsa. Orang lupa bahwa ratusan ribu orang dibunuh tanpa pengadilan, ribuan ditahan di Pulau Buru, Timor Timur dipenuhi darah dan pers dikontrol ketat. Tapi ingatan bisa diatur, apalagi kalau yang menulis adalah mereka yang dulu memegang senjata.

Michel Foucault pernah bilang, “kekuasaan tidak hanya menindas; ia juga memproduksi kebenaran.” Begitulah. Kini kekuasaan sedang memproduksi versi baru tentang Soeharto: bukan diktator tapi pahlawan. Dan kebenaran baru itu akan masuk ke buku sekolah, disalin oleh guru dan disambut oleh tepuk tangan pejabat yang dulu mungkin masih bayi saat tentara membunuh tetangga mereka sendiri.

Soeharto, Pahlawan? 

Pahlawan bagi siapa?

Bagi para korban 1965, tentu tidak. Bagi keluarga yang kehilangan anak di Timor Timur, tentu tidak. Bagi mahasiswa yang dipukul di jalan pada 1998, tentu tidak. Tapi bagi mereka yang dulu kaya karena Orde Baru, tentu iya. Bagi yang ingin menormalkan kembali “otoritarianisme demi pembangunan”, tentu iya. Soeharto adalah pahlawan bagi mereka yang merindukan masa ketika rakyat diam dan pemerintah selalu benar.

Ada yang lucu dalam semua ini:
Negara yang dulu menjatuhkan Soeharto karena Reformasi, kini mengangkatnya lagi sebagai pahlawan. Bayangkan, kalau Aristoteles hidup hari ini, ia pasti kebingungan: “Bagaimana mungkin polis memuji orang yang menghancurkan kebajikan publik?”
Atau kalau Karl Marx yang datang, mungkin ia akan tertawa sambil berkata:

“Sejarah terulang dua kali: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai parodi dengan sambutan resmi.”

Mungkin kita bukan bangsa yang tidak punya ingatan tapi bangsa yang terlalu sering memilih ingatan mana yang nyaman untuk diingat.
Kita ingin merasa damai tapi tanpa menghadapi luka. Kita ingin merasa bangga tapi tanpa menghadapi kebenaran.
Maka jadilah ini: negara memberi gelar pahlawan pada seseorang yang membuat rakyat takut bicara.

Tapi jangan khawatir. Dalam logika absurd ini, mungkin suatu hari nanti korupsi akan disebut “strategi pembangunan berkeadilan” dan represi akan disebut “stabilitas spiritual bangsa”. Ketika itu terjadi, barangkali satu-satunya yang tersisa untuk berpikir adalah mereka yang masih berani menertawakan kebohongan dengan pena, dengan kata dan dengan kesadaran.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url