Second Account dan Krisis Diri: Ketika Dunia Maya Menjadi Cermin yang Retak



Di era hidup yang tak lagi sekadar nyata melainkan juga digital, banyak dari kita mulai menjalani kehidupan ganda. Ada akun utama yang penuh prestasi, kebahagiaan dan kontrol. Ada akun kedua perwujudan dari ruang rahasia yang terkadang lebih jujur tapi juga lebih kelam. Fenomena second account di Instagram, Facebook dan platform media sosial lainnya bukan sekadar tren tapi cermin dari krisis identitas dan keaslian manusia modern.

Mengapa kita perlu akun kedua? Jawabannya sederhana sekaligus rumit: karena dunia menuntut kita untuk “sempurna” dan “terlihat baik”, sementara kita tetap manusia dengan sisi-sisi gelap, kesalahan dan kebingungan. Second account adalah tempat untuk mengekspresikan sisi yang tak bisa kita tampilkan di panggung utama. Namun, apakah keberadaan akun kedua itu menandakan kebebasan atau justru fragmentasi diri yang makin dalam?

Dari “Aku” ke “Aku yang Terpecah”

Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. Namun, kebebasan itu sekaligus menjadi beban berat: kita harus memilih bagaimana kita ingin dikenal dan bagaimana kita membangun citra diri. Di media sosial, citra ini dipertontonkan secara luas, menciptakan tekanan luar biasa untuk selalu “menjadi yang terbaik”.

Ketika tekanan menjadi terlalu berat, second account muncul sebagai “ruang pelarian” tempat kita bisa melepas topeng dan menjadi versi diri yang mungkin selama ini tersembunyi. Tetapi, seperti yang diingatkan oleh Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity, identitas kita menjadi cair dan mudah berubah dan kehilangan pusat yang stabil. Jadi, bukan hanya satu diri yang kita miliki melainkan beberapa versi yang saling bertentangan.

Ilusi Kebebasan dalam Fragmentasi Digital

Second account sering dipandang sebagai ruang kebebasan yang lebih otentik. Namun, Jean Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia modern, realitas sudah digantikan oleh simulakra yaitu tiruan tanpa asli. Akun kedua, meski tampak lebih jujur, masih dibentuk dan dikurasi dengan ketat. Kita memilih foto, kata bahkan ekspresi yang akan dibagikan. Kebebasan ini adalah kebebasan yang terbungkus dalam aturan tak terlihat platform digital dan ekspektasi sosial.

Lebih jauh, second account bukanlah tempat bebas dari pengawasan. Algoritma dan jaringan sosial tetap mengawasi dan menentukan apa yang layak tampil dan apa yang tenggelam. Sehingga, perpecahan diri ini sesungguhnya terjadi dalam sistem yang sama, membuat kita seperti tahanan dengan dua sel yang berbeda.

Krisis Keaslian dan Pencarian Makna

Friedrich Nietzsche pernah menulis bahwa “Tuhan telah mati”, menandai hilangnya landasan makna absolut dalam kehidupan modern. Di zaman digital, krisis ini berwujud dalam bentuk pencarian makna melalui citra-citra yang kita tampilkan.

Dalam konteks ini, second account adalah tanda bahwa kita mencari ruang untuk makna yang lebih personal dan autentik. Namun, tanpa keberanian menghadapi diri kita secara utuh bukan sebagai kumpulan persona digital, kita hanya memperdalam fragmentasi dan rasa kehilangan.

Mengapa Kita Butuh Keheningan?

Mungkin, kebebasan sejati tidak ditemukan dengan membuat akun kedua, tapi dengan keberanian untuk berdiam dalam kesunyian diri, tanpa harus selalu tampil atau membuktikan sesuatu kepada dunia. Seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, manusia perlu mengalami Gelassenheit (kelepasan dan ketenangan batin) agar bisa menemukan makna sejati.

Maka, di tengah kebisingan digital dan kecemasan mempertahankan citra, mungkin kita harus belajar berani untuk “tidak ada” sejenak. Bukan menghilang tapi berani menjadi diri tanpa topeng, tanpa akun utama maupun kedua.

Fenomena second account bukan hanya soal teknologi atau gaya hidup; ia adalah cermin dari pergulatan eksistensial kita di zaman yang penuh tiruan dan tekanan. Identitas kita terpecah dan kebebasan kita terkurung dalam dua dunia yang berseberangan.

Kita diajak bertanya:

Siapkah kita menerima diri yang utuh, tanpa harus terpecah?
Ataukah kita akan terus hidup dalam ilusi kebebasan yang dibuat oleh banyak akun, banyak wajah dan banyak topeng?

 

Catatan Sumber:

  1. Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (1943) — konsep kebebasan dan tanggung jawab eksistensial.

  2. Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882) — pernyataan “Tuhan telah mati” dan krisis makna modern.

  3. Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (2000) — tentang identitas cair dalam masyarakat konsumtif dan digital.

  4. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (1981) — dunia modern sebagai tiruan tanpa realitas asli.

  5. Martin Heidegger, konsep Gelassenheit (ketenangan batin) dan keaslian dalam Being and Time (1927).

  6. Sherry Turkle, Alone Together (2011) — dampak teknologi terhadap identitas dan hubungan sosial.

  7. Artikel Psychology Today (2023), “Why People Have Second Instagram Accounts” — fenomena akun kedua sebagai ekspresi diri.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url