Manusia Tidak Pernah Menjadi Dirinya Sendiri: Refleksi tentang Identitas, Tatapan dan Perebutan Diri di Era Sosial Media
“Manusia tidak pernah menjadi dirinya sendiri, melainkan ia merebut dirinya dari orang lain.”
Kalimat ini bukan sekadar renungan eksistensial tapi tudingan keras terhadap zaman. Sebab dewasa ini, manusia hidup dalam masyarakat yang terlalu ramai, terlalu bising, terlalu ingin tahu siapa dirinya bahkan sebelum ia sempat bertanya sendiri.
Krisis Identitas sebagai Keniscayaan Modern
Kita hidup dalam era di mana diri tidak lagi tumbuh dari pengalaman batin, melainkan dari pantulan-pantulan digital. Foto yang dipilih, kata yang diketik, cara berpakaian, hingga opini politik. Semua sudah menjadi bentuk kapital simbolik yang dipertukarkan untuk mendapat pengakuan sosial.
Manusia hari ini tidak membangun jati diri; ia mengkurasi citra. Ia tidak sedang hidup untuk mencari makna, melainkan sedang memainkan peran agar diterima dalam algoritma sosial yang tak henti menuntut performa dan kesempurnaan.
Begitulah, manusia modern bukan subjek yang bebas, tapi produk yang selalu diperbarui. Ia menulis caption seperti menulis resume. Ia memotret wajahnya seperti memotret reputasi. Ia mengedit hidupnya agar sesuai dengan ekspektasi orang lain dan dari situlah muncul ilusi bahwa ia menjadi dirinya sendiri. Padahal, yang ia rayakan hanyalah topeng yang paling disukai publik.
Tatapan Orang Lain dan Perebutan Diri
Jean-Paul Sartre pernah berkata bahwa "tatapan orang lain adalah neraka.” Maksudnya, kesadaran manusia selalu terganggu oleh keberadaan orang lain yang menatapnya, menilai dan mendefinisikannya. Tatapan itu mengubah kita menjadi objek.
Dalam dunia yang terhubung 24 jam seperti sekarang, tatapan itu tak pernah padam. Ia hadir dalam like, comment, share dan view count. Kita tidak lagi hidup dalam dunia pengalaman, tapi dalam dunia pengawasan yang kita nikmati sendiri.
Manusia kehilangan dirinya karena ia selalu hidup di bawah tatapan. Maka, menjadi diri sendiri adalah tindakan subversif; sebuah pemberontakan terhadap mata publik yang menuntut kita untuk selalu tampil, selalu membuktikan dan selalu sempurna.
Di sinilah kalimat “manusia merebut dirinya dari orang lain” menemukan relevansinya. Identitas bukanlah hasil introspeksi yang damai, tapi hasil pertarungan. Setiap orang harus merebut kembali hak untuk menafsirkan dirinya dari tangan masyarakat yang terlalu cepat menilai, terlalu dangkal mencintai dan terlalu bangga menghakimi.
Menjadi Diri Sendiri: Sebuah Tindakan Politik
Di era kapitalisme digital, menjadi diri sendiri adalah bentuk perlawanan paling radikal. Sebab sistem ini dibangun untuk memanfaatkan krisis identitas manusia: membuat kita selalu merasa kurang, agar selalu butuh pembenaran dan akhirnya selalu membeli sesuatu untuk menambal lubang itu entah barang, status atau validasi.
Perebutan diri dari orang lain berarti menolak tunduk pada logika pasar dan popularitas. Itu berarti berani menjadi tidak disukai, berani kehilangan audiens dan berani hidup di luar narasi yang sedang tren.
Namun keberanian seperti ini langka, karena manusia modern lebih takut tidak terlihat daripada tidak hidup. Kita lebih rela kehilangan jati diri daripada kehilangan pengikut.
Merebut Diri: Dari Individu ke Kesadaran Kolektif
Perebutan diri ini tak bisa hanya bersifat individual. Ia harus menjadi kesadaran bersama, sebuah gerakan kultural untuk menghentikan eksploitasi identitas oleh kekuatan ekonomi dan politik.
Selama manusia masih diukur dari “seberapa banyak yang mengenalmu” alih-alih “seberapa dalam kamu mengenal dirimu”, maka kita semua sedang hidup di dalam kandang sosial yang kita bangun sendiri.
Maka tugas filsafat hari ini bukan lagi mencari kebenaran abstrak, tapi menolong manusia mengenali dirinya yang tercerabut. Bukan dengan mengajar “jadilah dirimu sendiri” tapi dengan mengingatkan bahwa dirimu sendiri itu harus diperjuangkan, direbut dan dipertahankan dari cengkeraman publik yang ingin memilikinya.
Keberanian untuk Tidak Sama
Menjadi manusia otentik di era ini bukan soal gaya hidup tapi soal keberanian eksistensial. Keberanian untuk berkata: Aku bukan pantulan matamu, bukan hasil perbandinganmu, bukan algoritma dari seleramu. Aku ada karena aku memilih menjadi aku.
Dan mungkin, hanya pada saat itu setelah melalui seluruh perebutan dan perlawanan terhadap tatapan publik manusia akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri, meski hanya sekejap, sebelum dunia kembali berusaha merampasnya.
