Identitas Virtual: Ketika Eksistensi Ditentukan oleh Notifikasi
Filsuf Jean Baudrillard pernah memperingatkan tentang datangnya dunia "simulakra", di mana citra menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dalam konteks generasi muda saat ini, apa yang ditampilkan di media sosial foto yang sudah melalui ratusan filter, narasi kebahagiaan palsu atau pencitraan yang penuh perhitungan menjadi realitas baru. Bukan lagi siapa kita sebenarnya yang menentukan identitas, melainkan bagaimana kita ditampilkan dan diterima oleh algoritma sosial. Identitas pun menjadi sesuatu yang bisa direkayasa, dijual atau bahkan dikurasi layaknya produk dalam etalase digital.
Kita tidak lagi menjadi subjek yang bebas menentukan makna dirinya sendiri, seperti dalam pemikiran eksistensialis Søren Kierkegaard. Sebaliknya, kita menjadi produk dari perhatian orang lain, dari jumlah pengikut, dari statistik keterlibatan dan dari seberapa sering notifikasi berbunyi. Kierkegaard berbicara tentang kecemasan sebagai akibat dari kebebasan dan pilihan. Namun, dalam konteks digital, kecemasan itu berubah bentuk: menjadi ketakutan untuk tidak relevan, ketakutan akan dilupakan, ketakutan tidak di-notice. Notifikasi bukan lagi alat komunikasi, tapi alat legitimasi eksistensial.
Lebih jauh lagi, Michel Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar dan hadir dalam pengawasan yang tak kasat mata. Di zaman ini, kamera depan ponsel, fitur story yang bisa dilihat siapa saja dan algoritma yang menganalisis setiap gerak pengguna adalah bentuk panoptikon digital. Kita merasa diawasi, maka kita pun mengawasi diri sendiri; mengatur cara berbicara, bergaya, bahkan berpikir agar sesuai dengan norma-norma tak tertulis dari dunia maya. Maka tidak heran jika banyak anak muda lebih khawatir tentang bagaimana tampak menarik di media sosial ketimbang menjadi pribadi yang otentik dan utuh secara batiniah.
Fenomena ini menciptakan paradoks eksistensial: semakin keras seseorang mencoba menegaskan kehadirannya di dunia digital, semakin ia kehilangan jejak dirinya sendiri. Identitas menjadi cair, berganti mengikuti tren, dan kehilangan konsistensi. Ketika segala sesuatu dinilai dari respons eksternal (komentar, like, repost), nilai diri pun menjadi relatif dan rapuh. Generasi muda akhirnya hidup dalam siklus adiktif, di mana kebahagiaan tergantung pada sesuatu yang berada di luar kendalinya: perhatian orang lain.
Sudah saatnya kita mengkritisi arus ini. Identitas bukanlah sesuatu yang harus dikonfirmasi oleh orang lain, apalagi oleh algoritma. Eksistensi yang sehat adalah eksistensi yang dibangun dari dalam dari proses refleksi, dari hubungan nyata yang jujur, dari keberanian menjadi diri sendiri meski tak selalu "terlihat" atau "ter-notifikasi."
Dalam dunia di mana semua orang sibuk berbicara, barangkali revolusi terbesar adalah diam dan menjadi utuh.
