Manusia sebagai Homo Conceptus: Ketika Manusia Berkonsep Maka Semua Ada


Thobisa Bria, Lodovino Parera, Fransiskus Turu, Marianus Missa

Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang

Salah satu persoalan mendasar dalam filsafat manusia adalah bagaimana memahami manusia secara utuh tanpa mereduksinya pada satu dimensi tertentu. Dalam perkembangan pemikiran modern, manusia kerap dipahami secara parsial: sebagai makhluk biologis, makhluk ekonomi, atau sekadar subjek psikologis. Pendekatan-pendekatan semacam ini memang memberikan kontribusi penting, tetapi sering kali gagal menangkap kompleksitas manusia sebagai pribadi yang hidup, berpikir, dan memberi makna atas dunianya. Di sinilah urgensi filsafat manusia menjadi nyata, sebagaimana ditegaskan dalam buku Filsafat Manusia: Memahami Manusia sebagai Homo Complexus. Manusia tidak dapat dipahami secara sederhana, sebab ia merupakan makhluk yang kompleks, multidimensional, dan terus-menerus membentuk pemahaman tentang dirinya sendiri.

Dalam konteks ini, salah satu pokok pemikiran yang sangat penting adalah memahami manusia sebagai homo conceptus; manusia sebagai makhluk yang selalu berkonsep. Manusia tidak hanya hidup di dalam dunia objektif, tetapi juga di dalam dunia konseptual yang ia bangun melalui bahasa, simbol, pengetahuan, dan refleksi. Konsep bukan sekadar alat berpikir melainkan cara manusia menata realitas dan menegaskan eksistensinya. Memahami manusia sebagai homo conceptus berarti menyadari bahwa kehidupan manusia selalu dimediasi oleh konsep-konsep yang ia ciptakan dan wariskan.

Manusia dan Dunia Konsep

Sejak awal kehidupannya, manusia tidak pernah berhadapan dengan dunia secara netral. Dunia selalu hadir melalui pemaknaan. Ketika manusia menamai sesuatu, mengklasifikasikan pengalaman, dan membedakan baik–buruk, benar–salah, ia sesungguhnya sedang membangun konsep. Inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Hewan bereaksi terhadap rangsangan, sementara manusia menafsirkan pengalaman melalui struktur konseptual yang kompleks.

Dalam kerangka homo complexus, manusia tidak hanya berpikir secara rasional, tetapi juga simbolik, historis, dan kultural. Konsep-konsep tentang diri, Tuhan, alam, moralitas, dan masyarakat tidak muncul secara instan, melainkan terbentuk melalui proses panjang sejarah, pendidikan, dan tradisi. Manusia hidup di dalam jaringan konsep yang membentuk cara berpikir dan bertindaknya. Dengan demikian, memahami manusia berarti juga memahami konsep-konsep yang hidup di dalam kesadarannya.

Urgensi Homo Conceptus dalam Dunia Modern

Di era modern dan digital, manusia justru semakin terjebak dalam konsep-konsep yang ia ciptakan sendiri. Konsep tentang kesuksesan, kebahagiaan, produktivitas, bahkan identitas diri, sering kali diterima begitu saja tanpa refleksi kritis. Manusia modern hidup di bawah tekanan konsep-konsep sosial yang menuntut pencapaian, efisiensi, dan citra. Akibatnya, manusia berisiko kehilangan relasi autentik dengan dirinya sendiri. Pemahaman manusia sebagai homo conceptus menjadi sangat penting untuk membongkar kesadaran semu ini. Filsafat manusia mengajak manusia untuk tidak hanya menggunakan konsep, tetapi juga mempertanyakan konsep tersebut. Dengan bersikap reflektif, manusia dapat menyadari bahwa konsep bukan kebenaran mutlak, melainkan konstruksi akal budi yang selalu terbuka untuk dikritisi dan diperbarui.

Dalam konteks pendidikan, misalnya, manusia sering direduksi menjadi “objek pembelajaran” atau “sumber daya manusia”. Padahal, sebagai homo conceptus, manusia adalah subjek yang mampu membentuk konsep tentang dirinya dan dunianya. Pendidikan seharusnya tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk kemampuan reflektif agar manusia mampu mengolah konsep secara kritis dan bertanggung jawab.

Relasi Homo Conceptus dengan Dimensi Lain Manusia

Memahami manusia sebagai homo conceptus tidak berarti mengabaikan dimensi lain dari kemanusiaan. Justru sebaliknya, konsep menjadi titik temu antara berbagai aspek manusia sebagai homo complexus. Rasionalitas, spiritualitas, sosialitas, dan moralitas semuanya bekerja melalui kerangka konseptual. Manusia memahami Tuhan melalui konsep teologis, memahami alam melalui konsep ilmiah, dan memahami sesama melalui konsep etis dan sosial.

Namun, filsafat manusia mengingatkan bahwa konsep tidak boleh menggantikan realitas itu sendiri. Konsep tentang Tuhan tidak identik dengan Tuhan, konsep tentang manusia tidak identik dengan manusia konkret. Di sinilah sikap rendah hati intelektual menjadi penting. Manusia sebagai homo conceptus harus menyadari keterbatasan konsepnya, agar tidak terjebak dalam dogmatisme atau reduksionisme.

Memahami manusia sebagai homo conceptus merupakan langkah penting dalam upaya memahami manusia secara utuh. Manusia bukan sekadar makhluk yang hidup dan bertindak, tetapi makhluk yang terus-menerus berpikir, menafsirkan, dan membangun makna melalui konsep. Dalam dunia yang semakin kompleks, kesadaran akan sifat konseptual manusia menjadi sangat mendesak agar manusia tidak teralienasi oleh konsep-konsep yang ia ciptakan sendiri.

Sebagaimana ditegaskan dalam pemahaman manusia sebagai homo complexus, filsafat manusia tidak bertujuan memberikan definisi final tentang manusia, melainkan membuka ruang refleksi yang terus hidup. Dengan menyadari dirinya sebagai homo conceptus, manusia diajak untuk berpikir lebih kritis, hidup lebih reflektif, dan bertanggung jawab atas konsep-konsep yang membentuk kehidupannya. Dengan demikian, filsafat manusia tetap relevan sebagai upaya memahami siapa manusia itu, di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url