Cinta dan Trauma: Mengasihi dalam Luka ‎


Cinta selalu tampak indah dalam lagu dan film, tapi kenyataan sering kali lebih getir. Banyak orang jatuh cinta bukan dari ruang yang utuh melainkan dari reruntuhan dirinya sendiri. Kita mencintai dengan tangan yang masih gemetar dan dengan hati yang penuh bekas gigitan masa lalu. Dan di situlah paradoks cinta: ia selalu menuntut keberanian dari yang paling takut.

‎Trauma membuat seseorang berhati-hati, bahkan curiga pada kebahagiaan. Ia tidak lagi melihat cinta sebagai ruang tumbuh, tapi sebagai ancaman yang mungkin akan melukai lagi. Dalam kondisi ini, cinta tak lagi menjadi tarian dua jiwa melainkan semacam negosiasi antara ingatan dan harapan. Setiap sentuhan terasa seperti ujian, apakah aku aman di sini atau ini hanya jebakan yang sama dengan nama baru?

‎Namun, justru di sinilah cinta menemukan bentuknya yang paling manusiawi. Cinta bukan hadir ketika semua baik-baik saja melainkan ketika seseorang berani berkata: aku tahu kamu luka, tapi aku tetap di sini.

‎Simone Weil pernah menulis bahwa perhatian sejati adalah bentuk tertinggi cinta sebab mencintai berarti menatap orang lain sebagaimana adanya bukan sebagaimana kita ingin mereka menjadi. Dalam dunia yang serba instan, di mana orang mencari pasangan seperti memilih produk, mencintai orang yang trauma adalah tindakan radikal: sebab kita menolak logika “kesempurnaan” dan memilih menemani ketidaksempurnaan.

‎Tetapi mari jujur, mencintai orang yang terluka juga bukan romantisme murahan. Ia butuh kesadaran dan kedewasaan eksistensial. Karena kadang, cinta tanpa pemahaman justru memperdalam luka. Cinta bukan terapi tapi ia bisa menjadi ruang penyembuhan bila dihidupi dengan empati, bukan dengan rasa ingin menyelamatkan.

‎Erich Fromm mengatakan, “Cinta bukan perasaan pasif yang jatuh dari langit, melainkan keputusan yang terus diperbarui.” Maka, mengasihi dalam luka bukan soal “menyembuhkan orang lain” melainkan menyembuhkan diri sendiri sambil tetap percaya pada kemungkinan cinta. Ia adalah seni menanggung ketidaksempurnaan manusia termasuk diri kita sendiri.

‎Di zaman yang sibuk, dingin dan narsistik ini, keberanian untuk mencintai meski pernah dilukai adalah bentuk perlawanan paling halus terhadap nihilisme.

‎Karena setiap kali dua orang yang pernah hancur berani saling memegang tangan dan berkata, "ayo coba lagi", dunia yang keras ini mendapat sedikit cahaya dan barangkali, itulah makna sejati dari kata “mengasihi”.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url