Ketika Polisi Menakuti Mahasiswa: Luka Kultural dari Negara yang Takut pada Pikiran
Ada momen ketika negara memperlihatkan wajahnya yang paling jujur: bukan lewat pidato pejabat tapi lewat cara aparatnya memperlakukan warga yang berpikir. Ketika seorang mahasiswa diintimidasi karena bersuara, itu bukan sekadar peristiwa kecil antara dua individu. Itu adalah cermin yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan di negeri ini memahami dirinya sendiri dan bagaimana kebebasan dianggap sebagai ancaman, bukan napas kemanusiaan.
Kekuasaan yang Tak Lagi Melindungi
Michel Foucault pernah menulis, “Kekuasaan tidak pernah netral; ia selalu bekerja lewat tubuh dan bahasa.” Dalam intimidasi seorang mahasiswa, kekuasaan menunjukkan dirinya dalam bentuk paling telanjang: kontrol atas tubuh dan pemaksaan diam atas bahasa.
Polisi yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi alat penundukan. Di sini, kekuasaan kehilangan makna sosialnya. Ia bukan lagi wadah rasional untuk menjaga ketertiban melainkan mekanisme untuk mengatur rasa takut. Dan begitu rasa takut menjadi alat politik, maka hukum berubah menjadi ritual legitimasi kekuasaan bukan keadilan.
Polisi dan Krisis Etika Kemanusiaan
Immanuel Kant pernah mengingatkan bahwa manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan apa pun, bahkan untuk tujuan yang dianggap “mulia”. Tapi dalam tindakan intimidasi, mahasiswa dijadikan alat untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Hukum kehilangan wajah etiknya ketika manusia lain dipaksa tunduk bukan karena kebenaran tapi karena ancaman.
Dalam logika seperti ini, hukum berhenti menjadi pelindung nilai dan berubah menjadi pelindung ego institusi. Ironisnya, polisi yang melakukan intimidasi tidak hanya melukai orang lain, ia juga merusak martabatnya sendiri. Sebab dalam etika Kantian, begitu seseorang memperlakukan manusia lain sebagai objek, ia berhenti menjadi manusia secara moral.
Kebebasan yang Selalu Dianggap Bahaya
Jean-Paul Sartre menyebut manusia “dikutuk untuk bebas”. Artinya, kebebasan bukan hak istimewa tapi takdir eksistensial. Kita bebas berpikir, berbicara dan menafsir dunia bahkan ketika itu membuat orang lain tidak nyaman. Tapi di mata kekuasaan yang takut dikritik, kebebasan selalu terlihat seperti ancaman. Mahasiswa yang berbicara dianggap melawan, padahal ia hanya menjalankan kodrat kemanusiaannya.
Ketika kekuasaan menakuti pikiran, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum tapi kekerasan ontologis: usaha untuk membungkam eksistensi manusia sebagai makhluk bebas. Dan begitu manusia tak lagi bebas berpikir, ia tidak lagi menjadi manusia tetapi hanya bagian dari sistem yang menuntut ketaatan tanpa kesadaran.
Budaya Takut sebagai Warisan Kekuasaan
Dalam filsafat budaya, ruang publik adalah tempat manusia bersama-sama menciptakan makna. Tapi dalam masyarakat yang aparatnya menakuti suara kritis, ruang publik berubah menjadi ruang pengawasan. Budaya dialog mati pelan-pelan, digantikan budaya diam dan pura-pura setuju. Inilah luka paling dalam bangsa ini: luka budaya takut. Ketika berpikir dianggap berisiko, ketika diam dianggap bijak dan ketika kritik disamakan dengan ancaman. Padahal bangsa besar dibangun bukan oleh orang-orang yang diam melainkan oleh mereka yang berani bertanya bahkan kepada yang berkuasa.
Kekuasaan yang takut dikritik sesungguhnya sedang mengakui ketidakpercayaannya pada rasionalitas rakyatnya sendiri. Dan begitu negara berhenti percaya pada kemampuan warganya untuk berpikir, ia mulai memperlakukan mereka sebagai objek pengawasan bukan subjek kebebasan.
Hukum Tanpa Kesadaran, Kebebasan Tanpa Ruang
Kekuasaan tanpa etika adalah kekerasan yang dilegalkan. Etika tanpa kebebasan adalah moralitas yang lumpuh. Dan kebebasan tanpa budaya dialog hanyalah teriakan yang tak punya arah.
Maka, ketika seorang mahasiswa diintimidasi, persoalannya bukan sekadar pelanggaran individu tapi tanda negara sedang kehilangan keseimbangan antara kekuasaan, akal budi dan kemanusiaan.
Tugas kita bukan sekadar marah tapi memastikan agar ruang berpikir tetap hidup; agar bangsa ini tidak tumbuh dengan kepala tunduk dan hati takut.
Tentang Penulis
Yoseph Irfan Lakapu,
Wartawan di faktanabire.com, mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang, DJ & Rapper separuh sadar, Anggota aktif PMKRI Kupang sekaligus satu-satunya redaksi di Ide Pemuda; media yang berdiri tanpa modal, tanpa pemodal dan tanpa restu dari siapa pun yang merasa berkuasa atas pikiran.
Saya tidak punya gaji, tidak punya iklan bahkan kadang tidak punya motivasi. Yang saya punya cuma kemarahan yang tidak bisa dipadamkan dengan seragam dan upacara. Kalau saya menulis, itu bukan karena saya ingin terkenal tapi karena ada yang harus disindir dengan sopan tapi kena di ulu hati.
Polisi punya pentungan, saya punya pena, bedanya milik saya tidak butuh izin.
Kalau aparat merasa tersinggung, mungkin karena tulisan ini tidak saya tujukan untuk bunga di taman tapi untuk duri di kekuasaan.
Kalau kamu melihat situs ini tidak update selama beberapa hari, berarti saya sedang berpura-pura sibuk membaca Nietzsche supaya bisa menolak ajakan teman-teman minum Moke. “Maaf, saya sedang mencari makna hidup” kata saya, padahal cuma lagi diam menatap realitas yang absurd.
Saya percaya, kekuasaan itu seperti mantan: makin dibiarkan tanpa kritik, makin merasa benar sendiri. Karena itu, saya menulis; bukan untuk jadi pahlawan tapi untuk memastikan akal sehat belum mati total di negeri yang suka menakuti mahasiswa.
