Kekuasaan Sebagai Selfie: Politik Pencitraan dan Kematian Kebenaran
Di zaman ini, seorang pejabat tidak perlu menyelesaikan masalah. Cukup mendekat ke warga, tersenyum, mengangkat tangan dan membiarkan kamera bekerja. Masalah boleh tetap menganga, asal narasi tetap rapi.
Ini bukan lagi soal kerja nyata, tapi kerja terlihat nyata. Selamat datang di zaman pencitraan, kekuasaan tak lagi ditentukan oleh kebenaran tapi oleh tampilan.
Jean Baudrillard: Ketika Gambar Lebih Nyata daripada Fakta
Baudrillard menyebut ini sebagai “simulacra” ketika citra menggantikan realitas. Dalam konteks politik, kita tidak lagi memilih karena rekam jejak, tapi karena kesan yang diproduksi: pemimpin yang merakyat, sederhana atau “beriman” semuanya tampil lebih penting daripada keputusan politiknya.
Seorang pejabat bisa gagal total dalam mengurus kemiskinan, tapi tetap populer karena video TikTok-nya viral waktu membagi sembako.
Baudrillard menyebut ini:
“Hyperreality” saat tanda-tanda, simbol dan gambar lebih dipercaya daripada realitas.
Dalam sistem ini, yang bekerja adalah kamera bukan kebijakan. Yang diperbaiki adalah opini publik bukan hidup rakyat.
Foucault: Dari Pengawasan ke Spektakel
Jika Foucault bicara soal panoptikon, dimana rakyat diawasi agar patuh, maka zaman sekarang panoptikon itu dibalik: rakyat disuguhi tayangan agar tak bertanya. Pengawasan berubah bentuk menjadi hiburan. Kekuasaan tidak lagi menakut-nakuti, tapi memenangkan hati.
Kekuasaan modern tidak menekan, ia menggoda.
Tidak mengancam, tapi mengajak selfie.
Dan hasilnya? Kritik dianggap merusak suasana. Warga yang bertanya malah diminta bersyukur. Dalam logika pencitraan, tidak penting kebenaran, yang penting citra tidak rusak.
Kant: Moral Adalah Apa yang Kau Lakukan Saat Tak Ada yang Melihat
Di tengah hingar-bingar pencitraan ini, Kant seakan datang dari zaman lain mengajak kita bertanya:
Apakah pejabat bertindak baik karena ingin berbuat baik, atau karena kamera menyala?
Moral sejati, kata Kant, adalah bertindak dari niat baik, bukan demi hasil atau pujian.
Tapi di era pencitraan, motivasi moral digantikan oleh manajemen opini publik. Pejabat tak perlu bertanya: “Apakah ini benar?” Cukup tanya: “Apakah ini terlihat baik di media?”
Dan ketika semua tindakan dilandasi oleh “apa kata media,” maka politik kehilangan pusat etiknya. Yang tersisa hanya panggung, aktor dan penonton.
Politik Tanpa Kebenaran: Siapa yang Menang?
Kita kini berada di era politik kosmetik, di mana:
-
Dana desa tak cair, tapi video peresmiannya sudah diunggah.
-
Proyek mangkrak, tapi backdrop acara peletakan batu pertama tetap mewah.
-
Jalan rusak bertahun-tahun, tapi datang satu kali perbaikan, langsung diklaim “bukti perhatian pemerintah.”
Dalam dunia seperti ini, siapa yang menang? Bukan yang kerja, tapi yang tampil. Bukan yang jujur, tapi yang viral. Kekuasaan menjadi seni menciptakan perasaan tertipu yang terasa menyenangkan.
Jalan Keluar: Dari Gambar ke Gerakan
Kita tak bisa melawan pencitraan hanya dengan cemoohan. Kita perlu kesadaran kolektif untuk menuntut substansi, bukan sekadar tampilan. Perlawanan hari ini bukan hanya di jalan, tapi juga di narasi.
Kita harus merebut kembali kata-kata dari mulut kekuasaan:
“Merakyat” bukan berarti selfie dengan warga, tapi mendengar keluhan mereka dan menindaklanjutinya.
“Peduli” bukan memberi bantuan saat banjir untuk konten, tapi membangun sistem agar banjir tak terjadi lagi.
Kita harus bersuara:
“Kami tidak butuh pemimpin yang pandai berpura-pura. Kami butuh pemimpin yang mau bersusah payah.”
Dari Selfie ke Self-Kritik
Zaman pencitraan adalah zaman di mana pemimpin mencintai dirinya sendiri lebih dari mencintai rakyatnya. Ia sibuk tampil baik, bukan menjadi baik. Ia takut citranya jatuh, bukan takut kepercayaannya hilang.
Maka tugas kita bukan hanya memilih pemimpin, tapi membongkar teater kekuasaan. Dan bertanya: “Setelah semua lampu kamera mati, siapa yang masih bekerja?”
