Wedomu dan Lubang-Lubang di Jalanan yang Terlupakan


Di Wedomu, sebuah desa yang hanya berjarak sekitar 15 km dari Kota Atambua, jalanan yang dulunya ramai dengan kendaraan kini telah sepi. Jalan rusak parah, penuh lubang dan tidak kunjung diperbaiki. Warga sudah terbiasa dengan kondisi jalan yang menganga, seakan menjadi bagian dari pemandangan sehari-hari. Namun, satu pertanyaan muncul: Di mana pemerintah?

Selama sepuluh tahun terakhir, kondisi ini tak berubah. Di Wedomu, yang menjadi pusat dari berbagai fasilitas penting seperti kantor camat, puskesmas, SMA, SD, gereja dan perkampungan besar, masyarakat harus berjuang setiap hari untuk melewati jalan yang hancur. Bahkan, di dusun Lamasi, kondisinya tak jauh berbeda. Jalan di sana sudah lebih dari 15 tahun tanpa perbaikan. Ironisnya, meski berdekatan dengan ibukota kabupaten, jalan-jalan ini justru terlupakan.

Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, pernah menegaskan bahwa dalam masyarakat yang terstruktur, individu sering kali dibebani dengan situasi yang menekan dan tidak adil, namun mereka juga terperangkap dalam kebiasaan yang tercipta karena ketidakpedulian terhadap ketidakadilan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat Wedomu telah terbiasa dengan ketidakadilan berupa jalan yang rusak dan tidak terawat. Sebuah kenyataan yang seharusnya tak diterima, namun justru menjadi "norma" baru dalam kehidupan mereka. Sartre menyebut ini sebagai "being-for-others"—di mana individu terpaksa menyesuaikan diri dengan kondisi eksternal yang sudah tak lagi bisa mereka kontrol, sehingga mereka lebih banyak menerima ketidakadilan daripada memperjuangkan perubahan.

Bertentangan dengan pandangan Sartre, kita juga bisa merujuk pada pemikiran filsuf Tiongkok, Lao Tzu, yang mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan dan keadilan dalam masyarakat. Menurut Lao Tzu, sebuah pemerintahan yang baik adalah yang tidak berusaha menindas warganya dengan beban yang tak perlu. Jalan yang rusak di Wedomu adalah contoh dari pemerintahan yang tidak memahami prinsip kesederhanaan ini. Bukannya mempermudah akses dan kehidupan masyarakat, mereka justru mempersulit keadaan dengan mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap infrastruktur dasar yang seharusnya menjadi prioritas.

Masyarakat Wedomu harus terbiasa dengan hal-hal yang tak seharusnya mereka terima. Mereka terbiasa dengan jalan yang rusak, dengan ketidakpastian dan dengan janji-janji yang tak pernah ditepati. Masyarakat ini telah dipaksa untuk menerima ketidakberesan yang seharusnya sudah lama diperbaiki. Namun, ini bukanlah kondisi yang patut dipertahankan. Seperti yang ditulis oleh filsuf sosial Jürgen Habermas, sistem yang tidak mendengarkan suara rakyat akhirnya menciptakan jurang ketidakpercayaan yang semakin dalam. Ketika sebuah pemerintahan lebih fokus pada kekuasaan ketimbang pada kesejahteraan rakyat, maka ia menciptakan masyarakat yang pasrah—seperti masyarakat Wedomu yang hanya bisa berharap meski sudah hampir satu dekade jalan mereka tak kunjung diperbaiki.

Pemerintah seharusnya hadir dengan lebih dari sekedar janji. Mereka harus mengerti bahwa jalan yang rusak bukan hanya tentang infrastruktur fisik; itu adalah simbol dari kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar warganya. Jika negara membiarkan jalan-jalan ini terus terabaikan, maka ia tidak hanya mengabaikan fisik jalanan, tetapi juga mengabaikan harapan-harapan rakyatnya yang telah lama terkubur dalam lubang-lubang ketidakpedulian.

Ketika kendaraan yang dulunya ramai kini sepi, ketika warga harus berjuang setiap hari untuk melewati jalan yang penuh lubang, itu bukan hanya soal kesulitan fisik. Itu adalah indikator dari sebuah negara yang gagal memenuhi kewajibannya. Sebuah pemerintahan yang tidak mendengarkan suara rakyat dan mengabaikan kebutuhan dasar mereka hanya akan menumbuhkan rasa frustasi dan ketidakpercayaan.

Sebagai masyarakat, kita tak boleh terbiasa dengan keadaan yang seharusnya tidak kita terima. Wedomu  adalah bagian dari bangsa ini, dan mereka berhak atas perhatian dan pembangunan yang seharusnya sudah lama mereka nikmati. Pemerintah tak bisa terus-menerus mengabaikan suara rakyat yang terperangkap dalam lubang-lubang jalanan yang terlupakan. Karena, seperti kata Habermas, ketika sebuah negara tidak lagi mendengarkan rakyatnya, maka negara itu kehilangan haknya untuk memerintah.


Tentang Penulis:

Irfan Lakapu, seorang wartawan di faktanabire.com, mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang dan rapper yang senang berkutat dengan kata-kata—baik di atas panggung maupun di jalanan yang berlubang. Kalau sedang tidak menulis atau rap battle, bisa dipastikan dia sedang menghindari lubang jalan di sekitar Wedomu atau mungkin sedang berdebat dengan teman-temannya tentang apakah jalan yang berlubang bisa dianggap sebagai bentuk seni urban?. Kalau ada yang tanya, "Apa yang lebih parah, jalan berlubang atau ujian filsafat?" Jawabannya, "Keduanya sama-sama menguji kesabaran!"


Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
8 Comments
  • Anonim
    Anonim 13 Mei 2025 pukul 20.33

    Wedomu dan Lubang-lubang. Filosofi yang syarat makna akan ketidakadilan terhadap masyarakat kelas bawah yang di wakili oleh masyarakat Wedomu hanya sebagai contoh kecil dari keterpurukan perhatian dari penguasa. Sentilan penuh makna....dimanakah nurani penguasa Kab. Belu...? Buka mata dan hati demi rakyat kecil atas sumbangsih kami memenuhi kuota kursi empuk yang anda duduki setiap hari......H E L L O

    • Redaksi
      Redaksi 13 Mei 2025 pukul 23.50

      Terima kasih atas tanggapannya yang penuh makna dan keprihatinan. Suara seperti ini penting untuk membuka mata semua pihak, termasuk pengambil kebijakan. Semoga melalui diskusi dan perhatian publik, aspirasi masyarakat kecil bisa lebih didengar dan direspons secara adil.

      Kami di sini hanya menyampaikan fakta dan realita yang terjadi di lapangan — semoga bisa menjadi jembatan antara rakyat dan pemimpin.

  • Herry Mali
    Herry Mali 13 Mei 2025 pukul 20.37

    Proficiat adik Irfan Lakapu

    • Redaksi
      Redaksi 13 Mei 2025 pukul 23.48

      Terima Kasih om Hery

  • aldoatamukin
    aldoatamukin 14 Mei 2025 pukul 08.07

    Bupati berubah, kepala dinas berubah tetapi jalan tetap sama.

    • Redaksi
      Redaksi 14 Mei 2025 pukul 10.32

      Heraklitos berkata "segala sesuatu itu berubah, yang tidak berubah adalah jalan di Wedomu" thanks tempro

  • Anonim
    Anonim 14 Mei 2025 pukul 08.30

    All eyes on you brother 🥷

    • Redaksi
      Redaksi 14 Mei 2025 pukul 10.32

      thanks broth

Tambahkan Komentar
comment url