Kita Hidup di Tengah Kegaduhan, Tapi Siapa yang Mendengarkan?
Di negeri yang katanya demokratis ini, suara bukan lagi alat menyampaikan isi hati, melainkan gema kosong yang hilang ditelan hiruk-pikuk. Kita hidup dalam zaman yang penuh dengan kebisingan—debat kusir di televisi, cuitan politisi di media sosial, janji-janji dalam baliho besar di pinggir jalan. Tapi dalam semua kegaduhan itu, pertanyaan sederhana tetap menggantung: siapa yang sungguh-sungguh mendengarkan suara rakyat?
Masyarakat bukan lagi subjek yang berdaulat, melainkan objek dari kebijakan yang sering kali mereka sendiri tidak mengerti asal-usulnya. Di ruang rapat yang berpendingin udara, keputusan-keputusan besar dibuat—tentang harga bahan pokok, sistem pendidikan, hingga ruang hidup. Tapi mereka yang terdampak tidak hadir di sana. Tidak pernah ditanya, apalagi didengar.
Realitas sosial kita kini ibarat sebuah panggung sandiwara. Rakyat disuguhi lakon yang sama setiap musim: pemimpin datang dengan pidato yang indah, janji yang manis, dan senyum yang lebar. Tapi setelah tirai ditutup, rakyat kembali ke hidup yang penuh lubang: lubang jalan, lubang data bantuan, lubang kepercayaan.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena dalam struktur kekuasaan yang kompleks dan hirarkis, rakyat kerap dikerdilkan menjadi angka statistik. Mereka menjadi “kelompok rentan”, “masyarakat bawah”, atau “konstituen”. Istilah-istilah yang terdengar akademik tapi justru menjauhkan manusia dari kemanusiaannya.
Filsuf Prancis, Jacques Rancière, pernah berkata bahwa politik sejatinya adalah soal siapa yang diakui punya suara dan siapa yang tidak. Maka ketika warga hanya dianggap penting saat pemilu, lalu dilupakan dalam proses pengambilan keputusan, itu bukan sekadar ketidakadilan—itu adalah peminggiran eksistensial.
Ironisnya, rakyat pun perlahan terbiasa dengan ketidakdengaran itu. Sebagian memilih diam karena trauma, sebagian lagi pasrah karena lelah. Kita mulai percaya bahwa perubahan itu mustahil, bahwa suara kita takkan pernah cukup keras untuk menembus tembok kekuasaan.
Namun justru di titik inilah filsafat sosial perlu berbicara. Ia tidak datang membawa solusi instan, tapi ia bisa menyalakan kembali api kesadaran. Bahwa keterlibatan warga bukanlah bonus dalam demokrasi, melainkan fondasinya. Bahwa hak untuk didengar bukan sekadar formalitas, melainkan inti dari kemanusiaan.
Maka tugas kita bukan hanya mempertanyakan kebijakan, tapi juga membongkar asumsi yang menopangnya. Kita perlu bertanya: Mengapa narasi dominan selalu datang dari atas? Mengapa kritik dianggap ancaman? Mengapa kebijakan lebih sering dibuat atas dasar efisiensi ekonomi daripada keadilan sosial?
Dalam suasana seperti ini, menjadi warga negara yang kritis adalah bentuk perlawanan yang paling mendasar. Bukan untuk melawan negara, tapi untuk mengingatkan bahwa negara ada karena rakyat, bukan sebaliknya.
Jangan biarkan suara kita tenggelam dalam kegaduhan. Dalam dunia yang penuh kebisingan, kesadaran adalah bentuk keberanian.
