Kalau Sudah Difoto, Kami Tinggal Dijanji


Di republik ini, dokumentasi lebih penting daripada dampak. Kamera menyala, pejabat berdiri dengan senyum lebar atau pose tegas, masyarakat berjejer rapi di belakang dengan mata yang, entah masih berharap, atau sudah terlalu letih untuk berharap. Setelah itu: senyap. Tak ada evaluasi, tak ada tindak lanjut. Janji tinggal janji, menguap bersama cahaya blitz.

Apa yang terjadi bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah gejala struktural. Di banyak desa dan kampung—termasuk Wedomu, hanya beberapa kilometer dari pusat Atambua—ritual ini telah berlangsung lama. Jalan diresmikan, bantuan dibagikan, program diumumkan. Tapi begitu rombongan pulang dan kamera dimatikan, masyarakat kembali ke kenyataan: jalan tetap rusak, bantuan tak berkelanjutan, program mandek tanpa pengawasan. Pemerintah datang seperti hujan pertama: menggembirakan sesaat, lalu menghilang tanpa bekas.

Herbert Marcuse, dalam One-Dimensional Man, menyebut bahwa teknologi modern sering kali tidak membebaskan, tapi justru melanggengkan penindasan dalam bentuk baru—halus, menyamar, dan diterima sebagai kewajaran. Dokumentasi dan media bukan lagi cermin realitas, tetapi tirai teater kekuasaan. Gambar-gambar yang disebar bukan untuk mengungkap kebenaran, tapi untuk menutupinya. Kamera tidak digunakan untuk mengamati penderitaan, tetapi untuk mengatur bagaimana penderitaan sebaiknya ditampilkan: sebagai sesuatu yang sudah (katanya) ditangani.

Jean Baudrillard melangkah lebih jauh dengan konsep simulacra: dunia yang dipenuhi oleh representasi tanpa rujukan. Foto seorang pejabat yang tersenyum di depan sekolah tak layak bukan hanya sekadar pencitraan. Itu adalah penciptaan realitas palsu bahwa negara hadir, bahwa masalah sudah diatasi. Padahal, yang hadir hanyalah simbol, bukan substansi. Yang hadir adalah potret kehadiran, bukan kehadiran itu sendiri.

Michel Foucault memberi kita peringatan lain: kekuasaan modern tidak lagi bekerja dengan kekerasan terang-terangan, tapi lewat pengawasan, pendisiplinan, dan produksi wacana. Salah satu bentuk kekuasaan hari ini adalah kemampuan untuk menentukan apa yang dianggap “nyata”. Dalam konteks ini, dokumentasi pembangunan bukanlah catatan, melainkan penentu narasi. Masyarakat hanya diberi ruang sebagai objek visual, bukan subjek politik.

Apa dampaknya? Masyarakat tidak hanya dikhianati secara material, tapi juga secara simbolik. Mereka dijadikan ornamen dalam narasi pembangunan yang tidak pernah mereka tulis. Mereka bukan pelaku, tapi latar. Bukan penentu arah, tapi pelengkap potret. Ini adalah bentuk penghilangan yang halus: bukan dengan kekerasan, tapi dengan pengabaian yang disamarkan dalam senyuman.

Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan ini berlangsung? Sampai kapan masyarakat hanya jadi properti dalam panggung kekuasaan? Mungkin sudah waktunya kita tidak hanya bertanya, tapi menolak. Menolak menjadi hiasan dalam dokumentasi kekuasaan. Menolak untuk diam saat janji kembali dilontarkan tanpa niat ditepati.

Sudah saatnya masyarakat menuntut hak untuk menjadi subjek dalam pembangunan. Bukan hanya menyambut rombongan yang datang dengan drone dan kru dokumentasi, tapi juga bersuara ketika kamera dimatikan. Demokrasi bukanlah panggung pertunjukan. Ia seharusnya menjadi ruang bersama, tempat suara setiap orang tidak hanya didengar, tetapi dihitung.

Dan sampai saat itu tiba, mungkin foto-foto pembangunan yang kita lihat hanya akan menjadi bukti satu hal: bahwa dalam republik ini, gambar bisa lebih nyata daripada nasib warganya.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url