Pendidikan Tinggi: Mencetak Pemikir atau Pekerja Tunduk?


Kampus dan Kebingungan Identitas

Di banyak iklan universitas, kita disuguhi citra ceria mahasiswa dengan laptop di tangan, senyum penuh harapan dan janji karier gemilang. Namun di balik brosur yang penuh warna itu, banyak mahasiswa justru merasa asing di bangku kuliah. Mereka menjalani hari-hari seperti buruh pengetahuan: menghafal, menyusun laporan, lulus. Bukan untuk memahami dunia, melainkan untuk mengamankan tempat dalam sistem kerja yang tidak pernah mereka pilih. Maka muncul pertanyaan yang mengganggu: apakah pendidikan tinggi hari ini masih mencetak pemikir atau justru membentuk pekerja tunduk?

Pendidikan Tinggi yang Terjebak Pasar
Universitas yang dulunya tempat para filsuf, ilmuwan dan seniman menantang status quo, kini berubah menjadi mesin produksi tenaga kerja. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan industri bukan kebutuhan masyarakat. Mahasiswa tidak lagi diajak bertanya, melainkan diarahkan agar sesuai dengan pasar kerja. Dalam logika ini, berpikir kritis bisa dianggap mengganggu dan kreativitas bisa menjadi ancaman efisiensi. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi mungkin mahir menggunakan Excel, tetapi bingung ketika ditanya tentang arti hidup, keadilan sosial, atau arah bangsa. Pendidikan menjadi sekadar pengantar kerja, bukan penggali makna.

Fachidiot dan Manusia Setengah Mesin
Dalam dunia Jerman, dikenal istilah Fachidiot—seseorang yang sangat ahli di satu bidang, tetapi buta terhadap persoalan lain di luar keahliannya. Banyak kampus hari ini justru mendorong lahirnya profil seperti itu: mahasiswa yang piawai dalam teknik mesin, namun tidak tahu-menahu soal etika teknologi atau dampak sosialnya. Alih-alih membentuk warga negara yang sadar dan kritis, sistem pendidikan justru mencetak manusia setengah mesin: bisa disuruh, bisa digaji tapi tidak tahu untuk apa hidup dijalani.
Seperti yang dikritik oleh Herbert Marcuse, masyarakat modern menciptakan manusia berdimensi tunggal—individu yang teknis, namun tidak lagi kritis. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi justru membantu melanggengkan sistem dengan mencetak lulusan yang bisa bekerja efisien, tetapi tidak mampu atau tidak mau mempertanyakan tatanan sosial yang menindas.

Ilmu Pengetahuan Tak Lagi Membebaskan
Sejarah menunjukkan bahwa pendidikan pernah menjadi senjata melawan ketertindasan. Tapi kini, gelar sarjana justru menjadi simbol eksklusivitas sosial, bukan keberpihakan pada yang tertindas. Mahasiswa sibuk mengejar nilai IPK dan sertifikat pelatihan, sementara realitas di luar kampus dibiarkan penuh ketimpangan. Universitas sering kali lebih takut kehilangan akreditasi ketimbang kehilangan integritas intelektual. Padahal, tugas utama pendidikan bukan menyenangkan pasar, tapi menyadarkan manusia.

Saatnya Mengganggu
Kalau pendidikan tinggi hanya menghasilkan lulusan patuh dan siap bekerja, maka kampus bukan lagi tempat berpikir tapi pabrik penjinakan. Mahasiswa perlu mengklaim ulang ruang kampus sebagai tempat bertanya, meragukan dan melawan. Karena pemikir tidak dibentuk dari lembar soal pilihan ganda tapi dari keberanian untuk mengguncang kemapanan.
Pendidikan yang membebaskan—sebagaimana dibayangkan Marcuse—adalah pendidikan yang menciptakan negasi, keberanian untuk berkata tidak pada sistem yang menekan. Maka tugas kampus bukan hanya menghasilkan pekerja, tapi oposan sadar yang mampu mengguncang logika dominan.
Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
4 Comments
  • Anonim
    Anonim 14 Mei 2025 pukul 08.48

    Luar biasa

    • Redaksi
      Redaksi 14 Mei 2025 pukul 10.22

      Terima Kasih!

  • Anonim
    Anonim 14 Mei 2025 pukul 21.57

    Terbaik 🔥

    • Redaksi
      Redaksi 16 Mei 2025 pukul 20.42

      Terima kasih!

Tambahkan Komentar
comment url