Cinta sebagai Keberadaan yang Diberikan: Membaca Gabriel Marcel dalam Zaman Ketidakotentikan
"You come as you are, I come as I am."— Gabriel Marcel
Kita hidup di zaman di mana cinta sering direduksi menjadi transaksi, kalkulasi, atau bahkan konsumsi emosional. Kita menilai seseorang dari resume hidupnya—pekerjaan, penampilan, citra sosial, dan seberapa mampu ia menyenangkan kita. Dalam dunia yang menuntut kecepatan dan efisiensi, cinta pun dipaksa tunduk pada logika produksi dan pertukaran. Namun filsuf eksistensialis religius asal Prancis, Gabriel Marcel, mengajak kita untuk keluar dari keterasingan itu. Ia menawarkan pandangan cinta yang tidak didasarkan pada "apa" seseorang, tetapi "siapa" dia dalam eksistensinya yang tak tergantikan.
Cinta Bukan Kepemilikan, Tetapi Keikutsertaan
Dalam karya-karyanya, Marcel menekankan bahwa manusia bukanlah objek, bukan hal untuk "dipunyai" atau "dipakai", melainkan subjek yang harus "dihadirkan" dalam relasi. Ketika kita mencintai seseorang, kita tidak sedang menjadikan mereka sebagai milik atau alat pemuas kebutuhan kita. Sebaliknya, kita sedang memasuki suatu misteri eksistensial, di mana yang lain hadir sebagai thou, bukan it. Dalam relasi cinta yang sejati, saya tidak berkata, "aku memiliki kamu", tetapi "aku ada bersamamu." Inilah yang Marcel maksud ketika ia mengatakan "You come as you are, I come as I am." Cinta adalah undangan untuk hadir, tanpa topeng, tanpa performa, tanpa konstruksi sosial yang membatasi kita menjadi versi palsu dari diri sendiri. Saya hadir dalam keterbukaan dan kerentanan saya, begitu pun kamu. Cinta bukan ruang untuk manipulasi, tetapi pengakuan mutual atas eksistensi yang utuh—dengan segala luka, kelemahan, dan keindahan yang kita bawa.
Cinta dan Keberanian Menjadi Diri Sendiri
Marcel menyadari bahwa relasi manusia selalu berada dalam ketegangan antara pengobjekan dan penghadiran. Dunia modern—dengan segala kemajuan teknologinya—sering menjadikan manusia sebagai "masalah teknis", sebagai angka atau fungsi. Kita dibentuk oleh budaya performatif yang memaksa kita menyembunyikan identitas terdalam kita demi diterima atau disukai. Dalam cinta semu, kita tidak hadir, kita hanya memainkan peran. Namun cinta yang autentik menuntut keberanian untuk menjadi diri sendiri, dan lebih dari itu, menerima yang lain dalam keberadaannya yang autentik pula. Ini adalah tindakan keberanian ontologis. Sebab tidak ada yang lebih menakutkan dalam relasi cinta selain memperlihatkan sisi-sisi terdalam kita dan berdoa dalam diam: "apakah ia akan tetap tinggal?"
Cinta sejati, dalam pemahaman Marcel, bukan tentang menyelamatkan seseorang dari dirinya sendiri, tapi hadir bersamanya dalam kerapuhannya. Dalam relasi semacam ini, cinta menjadi bentuk partisipasi dalam keberadaan yang lain—bukan untuk mengontrol, bukan untuk memperbaiki, tetapi untuk mengamini bahwa "aku menerima kamu sebagaimana kamu adanya."
Cinta dan Kesetiaan: Melampaui Ketidakpastian
Gabriel Marcel percaya bahwa cinta sejati membutuhkan fidelity, kesetiaan. Kesetiaan bukanlah ketertundukan buta, melainkan pengakuan bahwa eksistensi manusia tidak pernah tuntas. Saya tidak mencintaimu hanya karena kamu sekarang menyenangkan atau memenuhi kebutuhanku; saya mencintaimu karena saya percaya bahwa kamu adalah misteri yang patut dihadiri, bahkan ketika kamu sedang berada dalam kabut. Kesetiaan adalah bentuk tertinggi dari pengakuan terhadap martabat eksistensial manusia.
Dalam dunia yang dipenuhi cinta instan, ghosting, dan hubungan tanpa komitmen, pemikiran Marcel terdengar seperti doa sunyi yang terlupakan. Ia mengingatkan kita bahwa mencintai berarti hadir. Bukan sekadar menyukai bagian-bagian tertentu dari seseorang, tetapi menyambut keseluruhan dirinya, bahkan bagian-bagian yang belum selesai. Dalam cinta, kita tidak menyelesaikan satu sama lain seperti teka-teki; kita menemaninya menyusun dirinya sendiri, dan ia pun menemani kita melakukan hal yang sama.
Cinta Sebagai Eksistensi Bersama
Marcel tidak memberi kita resep cinta. Ia memberi kita kesadaran akan kedalaman cinta itu sendiri. Cinta bukanlah solusi cepat, tetapi misteri yang harus dihayati secara penuh. Dalam cinta yang sejati, kita mengizinkan orang lain menjadi dirinya, dan kita juga diizinkan menjadi diri sendiri. Tidak ada paksaan untuk menjadi versi ideal, hanya ada kehadiran yang saling mengamini.
"You come as you are, I come as I am."
Inilah doa cinta sejati: kehadiran tanpa syarat, penerimaan tanpa pamrih, dan kesetiaan dalam badai kehidupan. Di tengah dunia yang membentuk cinta sebagai proyek egoistik, filsafat Gabriel Marcel menantang kita untuk mencintai seperti manusia, bukan seperti konsumen.
.png)