Sekolah Demi Kursi Kantor: Lalu yang Bercocok Tanam Itu Siapa?
Kita semua tumbuh dengan satu imajinasi yang ditanam sejak kecil: sekolah yang baik adalah tiket menuju pekerjaan kantoran. Menjadi guru, PNS, pegawai bank, atau setidaknya staf administrasi di instansi manapun. Sekolah bukan lagi ruang untuk menemukan siapa diri kita, tapi menjadi lorong panjang yang ujungnya ditentukan oleh sistem: menjadi pekerja yang masuk jam 8 dan pulang jam 4.
Sistem pendidikan kita telah terlalu lama dirancang sebagai pabrik pencetak buruh intelektual—mereka yang terampil mengerjakan soal, tahu caranya menghadapi ujian, tapi canggung saat disuruh berpikir bebas. Bahkan, kreativitas dan daya cipta hanya menjadi bonus, bukan inti dari proses belajar. Yang utama adalah bisa menjawab sesuai kunci jawaban, dan bisa menjawab saat wawancara CPNS.
Kita perlu jujur melihat bahwa banyak anak muda sekolah bukan karena ingin membangun masa depan yang bermakna, tapi karena ingin “aman” sebagai pegawai negeri. Tak sedikit pula orang tua yang mencemaskan anaknya bukan karena tak bisa berpikir, melainkan karena “belum juga jadi PNS.” Sekolah lalu menjadi alat reproduksi untuk memasuki struktur sosial yang telah ada, bukan untuk mengubahnya. Mereka tidak belajar menciptakan peluang usaha, atau membuat perubahan sosial—tapi dilatih untuk mengisi formasi yang telah disediakan negara.
Filsuf pendidikan seperti Ivan Illich dan Paulo Freire sudah lama memperingatkan: pendidikan yang membebaskan haruslah pendidikan yang membuat orang sadar akan struktur yang menindas dan memberi keberanian untuk menciptakan sesuatu di luar itu. Pendidikan tidak bisa hanya soal naik pangkat atau menghindari kerja kasar. Sebab ketika sekolah hanya menjadi tangga menuju kantor, maka seluruh pekerjaan di luar “kantor” dipandang hina dan tak layak. Padahal, siapa yang akan menanam, memelihara, dan mengolah tanah jika semua orang bercita-cita duduk di balik meja?
Ironisnya, negara dan sistem pendidikan sering menganggap kerja tangan sebagai kegagalan. Bertani dianggap pilihan terakhir. Membuat usaha kecil dianggap pekerjaan orang yang “tidak lulus seleksi.” Kita lupa, bahwa dalam situasi ekonomi dan sosial yang rapuh, justru keberanian untuk berinovasi, membuat usaha sendiri, atau bahkan tinggal di kampung dan hidup dari tanah, adalah bentuk keberhasilan yang tak kalah luhur.
Anak-anak muda butuh ruang untuk percaya bahwa tidak semua keberhasilan harus berbentuk ID card instansi dan gaji tetap. Mereka butuh diyakinkan bahwa memelihara kampung, membuat perubahan kecil, atau menciptakan lapangan kerja juga bisa menjadi cita-cita. Sekolah tidak boleh hanya menyiapkan siswa untuk menjadi pengisi kursi, tapi pembuat meja.
