Lembata dan Manggarai di Persimpangan Sejarah: Tambang, Tanah Leluhur dan Perlawanan
Dalam beberapa tahun terakhir, suara dari tanah timur Indonesia kembali menggema. Bukan lagi hanya karena syair budaya atau keelokan alamnya, tetapi karena jerit pilu bumi yang hendak dirampas. Tambang kini mengintai Lembata dan Manggarai, dua wilayah dengan warisan alam dan budaya yang mendalam. Di balik janji kemajuan dan ekonomi daerah, tersimpan ancaman yang diam-diam menggerogoti ruang hidup masyarakat adat.
Tambang dan Retorika Pembangunan yang Menyesatkan
Pemerintah daerah dan investor kerap mengusung narasi lama: tambang akan menciptakan lapangan kerja, menaikkan pendapatan dan mempercepat pembangunan. Namun, sejarah panjang eksploitasi di Indonesia membuktikan bahwa pertambangan lebih sering menjadi alat pendalaman ketimpangan sosial, perusak lingkungan dan peminggir hak-hak masyarakat adat atas tanah leluhurnya.
Di Lembata, tak hanya tambang marmer yang memantik protes. Isu baru yang lebih mengkhawatirkan muncul: rencana tambang emas di wilayah Kedang dan aktivitas tambang ilegal di Buyasuri. Pulau kecil dengan ekosistem rapuh ini terancam oleh penggunaan merkuri dan sianida yang dapat mencemari tanah dan sumber air serta memperparah deforestasi. Ketika pemerintah daerah berbicara tentang peluang investasi, warga justru melihat ancaman kehancuran yang dipoles dengan bahasa teknokratis. Manggarai tak kalah genting. Pertambangan batu gamping dan rencana pembangunan pabrik semen di kawasan karst bukan hanya mengancam mata air, tapi juga situs-situs budaya yang menjadi tulang punggung identitas orang Manggarai.
Ketika Hak Adat Dijadikan Formalitas
Tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar properti. Ia adalah tubuh sejarah, rumah roh leluhur dan tempat nilai diwariskan. Namun dalam praktiknya, konsultasi publik sering hanya menjadi formalitas birokratis. Apakah masyarakat benar-benar paham risiko ekologis jangka panjang? Ataukah suara mereka dikaburkan oleh brosur-brosur penuh janji, jamuan investor dan program CSR yang lebih mirip suap diam-diam? Lebih dari itu, masyarakat seringkali tak diberi waktu dan ruang untuk berpikir kritis. Proses-proses eksplorasi dipaksakan secepat mungkin, seakan jika lambat sedikit saja, "kemajuan" akan lepas dari tangan. Padahal yang sedang dipertaruhkan bukan hanya statistik ekonomi, tapi keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Perspektif Kritis: Illich dan Shiva
Ivan Illich pernah memperingatkan tentang “radical monopoly” — ketika satu model teknologi atau pembangunan menjadi dominan dan menghapus alternatif hidup masyarakat. Tambang bukan sekadar industri, tapi sistem penaklukan yang merampas otonomi komunitas dan memaksakan cara hidup yang bergantung pada kerusakan.
Vandana Shiva menegaskan bahwa kapitalisme ekstraktif menghancurkan ekologi dan merampas kedaulatan komunitas. Ia mengajak kita melihat bahwa pembangunan sejati tak bisa dibangun di atas puing-puing tanah yang dicemari dan komunitas yang dibungkam. Dalam kasus Lembata dan Manggarai, tambang tidak hanya menjadi proyek ekonomi, tetapi juga bentuk kolonisasi baru. Tanah yang dahulu dikuasai dengan senjata, kini dikuasai dengan perizinan dan studi AMDAL yang bias.
Vandana Shiva menegaskan bahwa kapitalisme ekstraktif menghancurkan ekologi dan merampas kedaulatan komunitas. Ia mengajak kita melihat bahwa pembangunan sejati tak bisa dibangun di atas puing-puing tanah yang dicemari dan komunitas yang dibungkam. Dalam kasus Lembata dan Manggarai, tambang tidak hanya menjadi proyek ekonomi, tetapi juga bentuk kolonisasi baru. Tanah yang dahulu dikuasai dengan senjata, kini dikuasai dengan perizinan dan studi AMDAL yang bias.
Perlawanan dari Akar Rumput
Namun masyarakat tidak diam. Di Lewoleba, warga adat berkumpul di rumah adat dan menyatakan: “Lembata bukan untuk tambang!” Di Buyasuri, tambang ilegal ditutup karena tekanan warga. Di Manggarai, tokoh agama, kaum muda dan masyarakat adat bersatu menolak tambang dan pabrik semen. Ini adalah suara yang lahir dari kesadaran kolektif, dari ingatan sejarah yang menolak dilupakan. Mereka tak hanya menolak tambang, tetapi menolak model pembangunan yang eksploitatif, yang menghapus nilai dan menjadikan kampung halaman sebagai komoditas.
Panggilan untuk Refleksi dan Aksi
Apakah kita rela mengorbankan generasi mendatang demi laporan investasi tahunan? Apakah kita akan terus diam ketika air minum dikotori demi logam mulia yang tak pernah dinikmati warga? Atau kita mulai berdiri bersama, menjaga tanah ini sebagai warisan dan tanggung jawab antargenerasi? Lembata dan Manggarai hari ini adalah simbol pertarungan antara dua dunia: kapitalisme ekstraktif dan kearifan lokal. Sejarah akan mencatat — di pihak mana kita berdiri!
Referensi:
KOMPASIANA
Artikel: Dampak Buruk Tambang Emas di Lembata, NTT: Ancaman Terhadap Lingkungan, Budaya dan Kehidupan Masyarakat
Tautan: Kompasiana.com
Antara NTT
Artikel: Pemkab Lembata Tutup Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Buyasuri (2024)
Tautan: https://kupang.antaranews.com/berita/105942
Rakat NTT
Artikel: Isu Tambang dan Sejarah Perlawanan Massa Kedang
Tautan: https://www.rakatntt.com/2025/01/isu-tambang-sejarah-perlawanan-massa.html
Floresa.com
Artikel: Perusahaan Tambang Kembali Beroperasi di Reok, Manggarai, Bakal Produksi Mangan Hingga 2027
Tautan: Floresa.co
