Darah dan Tanah: Luka Keluarga dalam Sengketa Lahan di NTT


Di banyak tempat, keluarga adalah tempat pulang. Tapi di Nusa Tenggara Timur (NTT), tanah—yang semestinya jadi lambang warisan dan keberlanjutan hidup—justru menjadi sumber pertumpahan darah di antara saudara kandung. Kakak dan adik yang dulunya tumbuh di tanah yang sama, kini saling bacok untuk menentukan siapa yang paling berhak menguasainya. Sebuah ironi yang menohok: darah sedarah tumpah demi sebidang tanah yang mereka injak bersama sejak kecil.

Sengketa lahan bukan cerita baru di NTT, tapi yang membuatnya mencengangkan adalah betapa ia terus berulang, seolah-olah tak ada yang belajar dari luka masa lalu. Maret 2020, enam orang tewas dalam bentrokan dua suku di Adonara, Flores Timur. Di Kecamatan Adonara Barat, 49 rumah dibakar akibat konflik lahan adat yang tak pernah diselesaikan sejak Orde Baru. Di Kota Kupang, keluarga Konay terpecah belah gara-gara warisan. Apa yang sebenarnya lebih berharga: tanah itu, atau mereka yang pernah berbagi nasi dan cerita di atasnya?

Tanah Tak Pernah Netral: Ia Menyimpan Memori, Tapi Juga Menyulut Amarah

Di NTT, tanah bukan sekadar lahan yang bisa dijual atau dibeli. Ia adalah bagian dari identitas, akar sejarah dan harga diri. Tanah adalah bukti bahwa seseorang berasal dari suatu tempat, punya silsilah, punya asal-usul. Tapi ketika tanah hanya diwariskan secara lisan, tanpa dokumen, tanpa batas yang sah secara hukum, maka setiap generasi hanya mewarisi teka-teki.
Kita hidup dalam masyarakat yang berubah cepat. Mobilitas meningkat, pendidikan menjauhkan anak-anak dari kampung dan tekanan ekonomi mendorong orang menjual tanah untuk kebutuhan sesaat. Dalam kerentanan semacam itu, sistem pewarisan tradisional yang dulu kuat kini jadi pintu masuk bagi konflik dan tak jarang, bagi para mafia tanah. Mereka datang dengan surat palsu, dengan restu dari oknum dan dengan kekebalan dari aparat yang mestinya melindungi rakyat.

Saudara Jadi Lawan: Ketika Darah Dikhianati oleh Kertas

Ada kisah-kisah yang bahkan sulit dituliskan tanpa gemetar. Seorang adik mengusir kakaknya dari rumah karena merasa lebih "berhak" atas tanah warisan. Seorang anak melaporkan ayah kandungnya ke polisi karena ingin memindahkan batas tanah warisan. Di media sosial, saudara saling membuka aib, saling memaki dan kadang saling mengancam. Ketika tanah menjadi lebih penting dari kasih sayang, maka keluarga pun kehilangan maknanya. Salah satu penyebab utama dari kehancuran ini adalah ketidakharmonisan antara hukum negara dan hukum adat. Negara hanya mengakui siapa yang memegang sertifikat. Tapi dalam adat, hak itu berasal dari garis darah dan sejarah. Ketika dua sistem ini tidak disatukan dalam kerangka keadilan, maka tanah akan terus menjadi bom waktu di dalam keluarga dan negara akan terus jadi penonton.

Reforma Agraria Tak Cukup: Kita Butuh Etika Warisan dan Rekonsiliasi Keluarga

Pemerintah suka bicara soal sertifikasi massal dan reforma agraria. Tapi di NTT, yang kita butuhkan bukan cuma legalitas, melainkan rekonsiliasi. Legalitas tak menyembuhkan luka hati. Sertifikat tak membuat dua saudara yang saling membenci bisa duduk semeja. Kita butuh pendekatan yang jauh lebih manusiawi: edukasi hukum berbasis kearifan lokal, ruang mediasi keluarga, penguatan hukum adat yang berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar legal-formal. Kita juga perlu mendobrak satu mitos: bahwa tanah warisan harus dibagi rata atau diperebutkan. Tidak semua warisan harus diwariskan sebagai harta benda. Ada warisan yang lebih luhur: kebersamaan, kepercayaan dan kasih sayang antar saudara. Tanpa itu, warisan hanya akan jadi sumber konflik.

Tanah Bisa Dicari Lagi, Tapi Adik-Kakak Kandung Tak Tergantikan

Ide Pemuda percaya bahwa konflik tanah di NTT bukan sekadar soal aset. Ini soal nilai, soal warisan budaya dan soal arah hidup bersama. Kita bisa bangun jalan, kita bisa bagi sertifikat, tapi kalau keluarga pecah dan luka tak disembuhkan, maka semua itu hanya hiasan di atas reruntuhan. Tanah bisa dibeli kembali. Tapi adik-kakak kandung yang mati karena bacokan di ladang warisan, tak bisa dihidupkan lagi.

Punya cerita soal konflik warisan di keluargamu? Tulis dan kirimkan ke redaksi kami. Bukan untuk membuka luka, tapi untuk merawat ingatan. Mungkin kisahmu bisa menyelamatkan keluarga lain dari luka yang sama.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url