“Wanita adalah Teka-Teki yang Harus Dijinakkan”: Membongkar Seksisme Tersembunyi dalam Filsafat Nietzsche
Nietzsche pernah menulis, “Pergilah kepada perempuan, jangan lupa cambukmu!” dan juga menyebut perempuan sebagai “teka-teki yang harus dijinakkan.” Kalimat-kalimat ini terdengar seperti mantra dari zaman patriarki purba, namun justru datang dari seorang filsuf modern yang mengguncang dunia dengan pemikiran radikalnya. Pertanyaannya: apakah Nietzsche hanya mengulang kebencian lama terhadap perempuan, atau sedang melontarkan sindiran tajam atas moralitas borjuis Eropa?
Nietzsche, sang pembunuh Tuhan, adalah juga pembunuh nilai-nilai usang yang menurutnya melemahkan manusia. Ia menolak moralitas Kristen, menentang kebenaran mutlak, dan mengajak manusia menciptakan nilai-nilai baru. Tapi ketika menyentuh persoalan perempuan, Nietzsche tampak tidak membongkar struktur patriarki, melainkan justru terperangkap di dalamnya.
Ungkapan “wanita adalah teka-teki yang harus dijinakkan” memberi kesan bahwa perempuan bukan subjek merdeka, melainkan objek liar yang harus ditaklukkan. Apakah ini pemikiran seorang revolusioner atau justru bayangan misoginis yang terlewatkan dalam filsafatnya? Dalam karya-karyanya, perempuan kerap digambarkan sebagai penggoda, pemecah dan pengganggu kehendak luhur laki-laki. Nietzsche, yang mengkritik segala bentuk moralitas sebagai penjara bagi kehendak bebas, justru seperti membiarkan stereotip tentang perempuan hidup bebas tanpa kritik.
Namun, sebagian pembaca mencoba membela Nietzsche. Mereka mengatakan bahwa kutipan-kutipan itu bersifat metaforis—bahwa "wanita" di sini adalah simbol dari naluri, dari kehidupan itu sendiri yang harus dihadapi dengan kehendak untuk berkuasa. Tapi pembacaan simbolik ini tidak membebaskan Nietzsche dari tanggung jawab. Ketika filsafatnya begitu kuat membongkar ilusi Tuhan, mengapa ia tak berani membongkar ilusi patriarki?
Nietzsche mungkin tidak membenci perempuan secara pribadi, tapi ia tidak pernah memberi mereka tempat dalam proyek filsafatnya yang menuntut kekuatan, kehendak, dan penciptaan nilai baru. Padahal, jika perempuan adalah “teka-teki,” bukankah ia harus dihargai sebagai misteri yang berdiri sejajar, bukan sekadar makhluk yang harus dijinakkan?
Di era ketika kesetaraan dan feminisme menjadi bagian penting dari wacana filsafat dan kehidupan publik, kita perlu membaca ulang Nietzsche secara kritis. Kita bisa mengagumi keberaniannya mengusik Tuhan dan moralitas, tapi kita juga harus berani mengusik warisan patriarki dalam pemikirannya.
Filsafat tidak boleh menjadi ruang eksklusif laki-laki. Dan perempuan bukan teka-teki yang harus dijinakkan—mereka adalah subjek yang otonom, penuh makna, dan layak menjadi bagian dari penciptaan nilai-nilai baru yang lebih adil dan setara.

👏🏻Bagus
Makasih🙏