Dari Tilang ke Pelecehan: Wajah Gelap Kuasa Polisi atas Tubuh Rakyat

 


Kasus pelecehan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap seorang siswi di Kota Kupang setelah penilangan bukan hanya soal pelanggaran hukum—ia adalah cermin kekuasaan yang telah kehilangan etika. Ironisnya, pelecehan tersebut terjadi di Kantor Satlantas, tempat yang seharusnya menjadi ruang prosedural, bukan ruang pelanggaran hak dan martabat warga.
Lebih menyedihkan lagi,ini bukan kasus pertama. Kota Kupang dan wilayah Nusa Tenggara Timur sebelumnya telah diguncang oleh laporan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, termasuk kasus yang melibatkan oknum Kapolres Ngada. Deretan peristiwa ini menunjukkan bahwa tindakan pelecehan oleh aparat bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari pola kekuasaan yang berlangsung tanpa akuntabilitas.
Dalam kacamata Michel Foucault, kekuasaan modern tidak lagi bekerja hanya melalui kekerasan fisik terang-terangan, melainkan melalui pengawasan, regulasi dan kontrol tubuh. Polisi—sebagai representasi negara—seharusnya menjalankan fungsi menjaga keteraturan sosial. Namun ketika kekuasaan ini dilepaskan dari pengawasan publik, ia menjelma menjadi alat pendisiplinan yang brutal. Tubuh siswi yang dilecehkan bukan hanya korban kekerasan personal, tetapi juga simbol dari tubuh masyarakat yang dilemahkan oleh kuasa yang tak terbatas.
Foucault menyebut ini sebagai “kuasa atas kehidupan”—di mana negara merasa berhak mengatur, memantau, bahkan menyentuh tubuh rakyatnya. Dalam kasus ini, kuasa itu berubah menjadi kejahatan: melucuti martabat seorang pelajar hanya karena posisi aparat lebih tinggi secara struktural. Polisi bukan lagi pelindung masyarakat, tetapi aktor represif yang menanamkan rasa takut lewat seragam.

Hannah Arendt menambah dimensi penting dalam tragedi ini. Ia pernah menyebut istilah “banality of evil”—kejahatan bisa terjadi bukan karena pelakunya monster, melainkan karena mereka berhenti berpikir dan berhenti bertanya. Ketika aparat menjalankan kekuasaan tanpa nurani, ketika pelecehan dianggap hal biasa dalam rutinitas birokrasi, maka yang hadir bukan hanya ketidakadilan, tetapi juga kejahatan yang menjadi sistemik.

Apa yang dibutuhkan hari ini bukan hanya sanksi pada satu oknum, tetapi pembongkaran cara berpikir yang menempatkan aparat di atas hukum. Kita harus merombak relasi kuasa antara penguasa dan warga. Seragam bukanlah jubah kekuasaan mutlak. Ia adalah simbol kepercayaan rakyat, yang harus dijaga dengan kerendahan hati dan tanggung jawab.
Jika tubuh siswi bisa dilecehkan dengan begitu mudah, maka tak ada yang menjamin bahwa tubuh kita selanjutnya tidak akan bernasib sama. Masyarakat harus bicara. Kita tidak bisa diam karena jika kita diam, maka kita sedang menyuburkan keburukan untuk terus tumbuh.
Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url