Politik Tuan dan Hamba di NTT: Dari Panggung Pemilu ke Realitas Rakyat

 


Kekuasaan selalu memiliki bayangannya sendiri. Di NTT, bayangan itu menjelma dalam bentuk patronase, kemiskinan struktural, dan politik yang tak kunjung dewasa. Layaknya drama tua yang dimainkan ulang, rakyat terus disuguhi panggung demokrasi lima tahunan, tetapi tanpa naskah pembebasan yang benar-benar baru.

NTT adalah laboratorium politik keterbelakangan yang disulap jadi retorika pembangunan. Dari SoE sampai Lembata, dari Belu hingga Sumba Barat, jargon-jargon seperti "kesejahteraan rakyat", "pembangunan berkeadilan", dan "infrastruktur desa" menjadi mantra kosong yang dibacakan oleh elite-elite lokal demi mendulang suara. Padahal, jika kita mau sejenak mengutip Herbert Marcuse, yang bicara tentang “masyarakat satu dimensi”, kita akan melihat bahwa rakyat di NTT semakin terjerat dalam sistem yang menormalisasi kemiskinan dan menjadikannya bagian dari tata sosial yang harus diterima. Kesejahteraan bukanlah realitas, tapi sekadar harapan yang terus ditunda.

Hubungan antara pemimpin dan rakyat di NTT seringkali menyerupai dialektika "Tuan dan Hamba" ala Hegel: yang satu berkuasa karena diakui, yang lain tunduk karena terpaksa. Namun, dalam kasus kita, sang “hamba” justru sering merayakan penindasannya. Rakyat memuja pemimpin yang hanya hadir saat kampanye, seolah-olah kedatangan mereka adalah anugerah surgawi. Fenomena ini bukan sekadar kesalahan individu, tapi cerminan dari kesadaran politik yang belum matang. Pendidikan politik rakyat dibungkam oleh bantuan sosial, disubstitusi dengan beras dan mie instan. Politik transaksional tumbuh subur, dan rakyat pun ikut menanam, sadar atau tidak.
NTT adalah ruang simulasi, untuk meminjam istilah Jean Baudrillard. Jalan-jalan dibangun, tetapi hanya di depan rumah kepala dinas. RSUD diresmikan, tapi alat medisnya kosong. Bantuan pupuk dikirim, tapi jatuh ke tangan kerabat politikus. Yang disebut “pembangunan” tidak lain hanyalah representasi palsu dari kemajuan; tidak menyentuh struktur, tidak menyentuh kesadaran. Apa gunanya jalan aspal jika yang melintas hanyalah keluhan?

Solusinya bukan sekadar mengganti aktor, tetapi mengganti nalar. Kita butuh politik dari bawah — politik yang lahir dari kesadaran komunitas, bukan dari janji proyek. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya paham angka APBD, tapi juga mengerti makna “duduk bersama rakyat tanpa panggung.” Sudah saatnya masyarakat NTT berhenti menjadi penonton dalam drama kekuasaan. Demokrasi bukan panggung elite, tetapi ruang untuk bertindak. Dan bertindak berarti menolak tunduk, menolak dijadikan objek oleh kuasa yang datang hanya saat musim pemilu.

Dalam semangat Paulo Freire, politik seharusnya menjadi jalan menuju pembebasan, bukan pembodohan. Namun di NTT, kita masih jauh dari sana. Yang ada baru sekadar kebebasan memilih, bukan kebebasan berpikir atau menentukan arah hidup sendiri. Jika rakyat tetap diam, maka kekuasaan akan terus memainkan lakonnya. Maka, di tengah hiruk pikuk politik lokal, kita harus bertanya: apakah kita masih ingin menjadi hamba, atau mulai menyusun naskah baru sebagai subjek sejarah?

 

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
4 Comments
  • Anonim
    Anonim 16 Mei 2025 pukul 14.56

    Agak sulit atau butuh waktu yg panjang karena karakter politikus yg maunya serba pragmatis. Pemabngunan nyaris tak menyentuh substansi

    • Redaksi
      Redaksi 16 Mei 2025 pukul 20.41

      Pada dasarnya seorang pemimpin yang sebelum naik ke tampuk kekuasaan sudah mengeluarkan banyak uang maka kepemimpinannya berorientasi hanya pada uang. Salam, Ide Pemuda!

  • Hermanoz_27
    Hermanoz_27 16 Mei 2025 pukul 21.56

    Siapa lagi yang bisa dipercaya saat ini??
    "..Sistem yang tidak mendengarkan suara rakyat hanya akan menciptakan jurang ketidakpercayaan yang lebih dalam." Habermas

    • Redaksi
      Redaksi 17 Mei 2025 pukul 18.35

      Mau bilang aneh tapi nyata. Mau bilang nyata tapi aneh!

Tambahkan Komentar
comment url