Mengapa Banyak Warga Belu Merantau? Sebuah Tinjauan Sosial dan Kritik Pemerintah Daerah
Di balik keindahan alam Kabupaten Belu, yang terletak di ujung perbatasan dengan Timor Leste, tersimpan kenyataan sosial yang kian mencemaskan: gelombang perantauan yang masif dari warga Belu—bukan hanya pemuda, tetapi juga orang-orang dewasa dan bahkan lansia. Tujuan mereka beragam: Kalimantan, Papua, Bali, Jakarta dan Surabaya bahkan luar negeri. Semuanya demi satu harapan yang kini tak lagi mereka temukan di tanah kelahiran: kehidupan yang layak.
Mengapa Mereka Pergi?
Sebagai aktivis dan mahasiswa filsafat, saya memandang fenomena ini sebagai hasil dari ketimpangan struktural yang tak kunjung dibereskan. Karl Marx pernah mengingatkan bahwa relasi produksi yang timpang akan menciptakan eksodus dari mereka yang tak lagi mampu bertahan. Di Belu, kemiskinan struktural, pengangguran, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan menjadi pemicu utama. Ekonomi yang stagnan dan bergantung pada sektor informal seperti pertanian subsisten, tak lagi cukup menopang kehidupan sehari-hari.
Dampaknya Bagi Keluarga
Fenomena perantauan besar-besaran ini menyisakan luka yang tak terlihat di desa-desa Belu. Banyak keluarga hidup dalam keheningan: ayah atau ibu yang merantau bertahun-tahun, anak-anak yang dibesarkan oleh kakek-nenek atau keluarga yang bertahan hidup dari kiriman uang tanpa kehadiran. Tradisi mulai kehilangan penerus. Gotong royong melemah. Identitas budaya perlahan memudar, tergantikan oleh cerita keberhasilan individu yang "berhasil" di tanah rantau.
Secara psikososial, keluarga yang ditinggalkan menanggung beban emosional yang besar. Anak-anak tumbuh dengan rasa kehilangan dan para lansia menua dalam kesepian. Apakah kita akan terus membiarkan ini menjadi narasi umum di daerah perbatasan?
Di Mana Pemerintah Kabupaten Belu?
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kabupaten Belu. Namun, yang terlihat justru rutinitas administratif yang tidak menyentuh akar masalah. Pelatihan kerja yang tidak kontekstual, bantuan sosial yang bersifat tambal sulam, hingga ketidakhadiran arah kebijakan ekonomi jangka panjang—semuanya menjadi tanda ketidakseriusan negara dalam membangun kehidupan yang layak di daerah perbatasan.
Alih-alih menciptakan peluang di kampung sendiri, kebijakan yang ada justru mendorong ketergantungan pada remitansi dari luar daerah. Sistem pembangunan kita tidak membebaskan, tetapi mengekang. Pemerintah tampak lebih nyaman melihat rakyatnya pergi, lalu menyambut kiriman uang mereka sebagai "bukti keberhasilan".
Merantau: Pilihan atau Paksaan?
Merantau bukanlah kesalahan. Banyak warga yang merantau dengan semangat juang luar biasa. Tetapi ketika merantau menjadi satu-satunya pilihan, itu adalah cerminan dari kegagalan pemerintah dalam membangun harapan. Kita seharusnya hidup dalam masyarakat di mana orang bisa memilih antara tinggal atau pergi—bukan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran karena tak ada lagi yang bisa diperjuangkan di sana.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemkab Belu?
Pemerintah Kabupaten Belu harus berani berpikir ulang tentang arah pembangunan. Beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan antara lain:
-
Membangun peta jalan ekonomi lokal yang berbasis potensi daerah seperti peternakan, tenun ikat dan pariwisata budaya.
-
Pelatihan kerja dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar regional dan nasional.
-
Penguatan UMKM dan koperasi desa, dengan akses permodalan dan pendampingan berkelanjutan.
-
Kebijakan afirmatif untuk desa-desa dengan tingkat perantauan tinggi agar dapat membangun ketahanan sosial-ekonomi.
-
Kemitraan aktif dengan diaspora perantau, agar keahlian, pengalaman dan investasi mereka bisa kembali ke Belu, bukan sekadar uang kiriman.
Daerah yang Kehilangan Warganya
Jika pemerintah terus mengabaikan kenyataan ini, maka masa depan Belu adalah daerah yang hanya "dihidupi" oleh kiriman uang dari luar, tetapi kehilangan denyut hidup di dalamnya. Kita harus bertanya: apa arti sebuah tanah kelahiran jika rakyatnya tidak lagi bisa hidup layak di atasnya?
Merantau seharusnya menjadi pilihan bebas—bukan pelarian dari kemiskinan struktural. Dan ketika sistem gagal menghadirkan ruang hidup yang manusiawi, maka pertanyaan tentang keadilan sosial tak lagi bisa dihindari.

Luar biasa e
Terima kasih!