Kerja Sama Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri: Saat Peran Pemerintah Daerah Belu Dipertanyakan
Pemerintah Kabupaten Belu baru-baru ini menjalin kerja sama dengan PT. Binawan Inti Utama untuk program pelatihan dan penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Dalam promosi yang beredar di berbagai grup WhatsApp, kerja sama ini dipoles sebagai “kesempatan emas” bagi putra-putri terbaik Belu. Digambarkan gaji menjanjikan: Rp12 hingga 80 juta. Tapi syaratnya: pelatihan selama 12 bulan. Slogan yang dipakai: “Siapkan diri Anda menjadi tenaga kerja profesional berskala global.”
Tapi di balik narasi manis ini, tersimpan banyak pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan: Apakah benar ini solusi? Atau justru ini bentuk baru dari ekspor manusia atas nama pembangunan?
Baca Juga Opini Terkait: Mengapa Banyak Warga Belu Merantau?
Pemerintah yang Lelah Membangun dan Kehabisan Ide
Kerja sama ini menandakan satu hal yang menyedihkan: pemerintah mulai kehabisan ide membangun kampung halamannya sendiri. Maka jalan pintas pun ditempuh menjadi makelar tenaga kerja. Fungsi negara yang seharusnya menciptakan lapangan kerja, memperkuat ekonomi lokal dan memastikan hidup layak bagi seluruh warga, kini digantikan oleh skema “produksi tenaga kerja ekspor.”
Karl Marx pernah mengatakan, “Negara adalah komite eksekutif bagi urusan bersama kelas borjuis.” Dalam konteks ini, pemerintah daerah tampaknya lebih sibuk melayani kepentingan pasar tenaga kerja global daripada menjawab kebutuhan rakyat sendiri. Warga Belu disiapkan bukan untuk membangun kampungnya, tetapi agar siap "dipasarkan" ke negara lain. Ironis.
Ilusi Gaji Tinggi dan Bahaya Promosi Sepihak
Angka gaji yang dipajang dalam banner (Rp12–80 juta) adalah bentuk pencitraan yang problematik. Tanpa penjelasan negara; tujuan, sektor kerja, jam kerja hingga risiko sosial dan hukum, warga hanya dijejali imajinasi kaya mendadak. Padahal banyak pengalaman menunjukkan bahwa buruh migran justru berhadapan dengan eksploitasi, kerja paksa hingga kekerasan yang tak jarang tak terdengar publik.
Filsuf Prancis, Michel Foucault, menyebut fenomena ini sebagai bentuk biopolitik yaitu ketika negara mengelola tubuh dan kehidupan rakyat sebagai komoditas yang bisa diproduksi, disalurkan dan dimanfaatkan oleh kekuasaan ekonomi. Dalam konteks kerja sama ini, warga Belu bukan lagi warga negara penuh hak, melainkan aset ekonomi yang “dipoles” agar menarik secara pasar.
Siapa yang Untung, Siapa yang Tumbang?
Pertanyaan lain yang luput dibahas: siapa yang benar-benar diuntungkan dari kebijakan ini? PT. Binawan? Pemerintah yang bisa mengklaim "menekan pengangguran"? Atau warga yang harus mengikuti pelatihan 12 bulan yang belum jelas apakah dibayar atau malah dibebani biaya?
Pelatihan selama setahun adalah masa yang panjang. Jika pelatihan itu menjadi pintu masuk untuk utang, maka rakyat Belu kembali dijebak dalam sirkulasi kemiskinan yang dipoles sebagai “pengembangan SDM.” Dan jika tak ada jaminan kerja, maka pelatihan ini hanyalah tambang uang baru dari penderitaan lama.
Kebutuhan yang inti adalah beasiswa kuliah ke luar negeri, bukan promosi tenaga kerja murah berkedok pelatihan. Anak muda Belu tidak kekurangan bakat atau semangat, yang kurang adalah akses terhadap pendidikan tinggi bermutu. Jika pemerintah benar-benar ingin mempersiapkan SDM berkualitas global, maka seharusnya mereka membangun jalan bagi anak-anak muda Belu untuk menimba ilmu bukan hanya menjual tenaga mereka. Pendidikan adalah jalan menuju kemandirian bukan sekadar kelayakan pasar.
Kita Mau Kemajuan, Bukan Eksodus
Dalam filsafat pembebasan, seperti yang digaungkan Enrique Dussel, pembangunan sejati adalah pembangunan yang berpihak pada yang tertindas, bukan pada logika pasar. Suara rakyat di pinggiran seperti Belu tidak boleh hanya jadi angka statistik dalam program formal. Pembangunan harus dimulai dari kebutuhan konkret rakyat; air bersih, pertanian berkelanjutan, koperasi desa dan lapangan kerja lokal bukan dari keinginan pejabat untuk terlihat progresif di atas panggung nasional.
Jika kita menyebut kerja di luar negeri sebagai "pilihan," maka kita perlu bertanya: apakah rakyat benar-benar bebas memilih? Atau mereka pergi karena tanah kelahiran tak lagi memberi ruang untuk hidup? Jika yang tersisa hanyalah jalan keluar dari kampung, maka bukan hanya ekonomi kita yang gagal tetapi juga harga diri kolektif sebagai bangsa.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kebijakan ini bukan sepenuhnya buruk. Tapi jika tidak dibarengi dengan:
1. Transparansi penuh soal kerja sama
2. Perlindungan hukum bagi tenaga kerja
3. Skema tanpa utang tersembunyi
4. dan upaya nyata membangun ekonomi lokal,
...maka ia hanya akan menjadi bentuk baru dari kolonialisme ekonomi. Kita ekspor rakyat, kita impor remitansi lalu kita bangga karena angka kemiskinan "turun."
Yang lebih penting dari sekadar mengirim rakyat ke luar negeri adalah menciptakan alasan agar mereka mau tetap tinggal. Daerah seperti Belu punya potensi besar: pariwisata budaya, peternakan, pertanian organik dan industri tenun ikat. Tapi semua ini butuh visi politik yang berpihak bukan sekadar slogan globalisasi.
Bangun dari Akar, Bukan Promosi Luar Negeri
Friedrich Nietzsche pernah berkata, "Negara adalah tempat semua orang minum racun lambat." Jika kita tidak kritis, kita akan menelan racun yang dibungkus sebagai harapan. Harapan palsu akan gaji besar. Harapan palsu akan masa depan luar negeri. Tapi kampung halaman yang mati perlahan tetap menjadi luka yang tak bisa disembuhkan oleh kiriman uang.
Belu tidak kekurangan tanah, tidak kekurangan tenaga dan tidak kekurangan harapan. Yang hilang justru keberanian untuk melihat rakyat kecil sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar angka dalam laporan atau barisan yang harus disuruh pergi demi menyambung hidup. Merantau, sejatinya, adalah kisah tentang mencari dunia yang lebih luas, bukan tentang melarikan diri dari kampung sendiri yang dibiarkan sepi dan tak terurus. Tapi hari ini, terlalu banyak anak muda Belu yang meninggalkan tanah kelahirannya bukan karena mimpi tapi karena tak ada yang bisa mereka harapkan dari tanah ini selain kenangan. Jika pemerintah terus sibuk menjadi perantara kepentingan luar, bukan penjaga kepentingan rakyat maka Belu akan terus tumbuh tapi bukan dari akar, melainkan dari luka-luka yang ditinggalkan oleh warganya yang terpaksa pergi. Sudah waktunya kita bertanya: siapa yang sebenarnya kita bangun dan untuk siapa Belu ini ada?
Baca Juga Opini Terkait; Mengapa Banyak Warga Belu Merantau?

Keren ulasannya
Terima kasih!