Jika Kita Hidup untuk Mati, Kenapa Harus Terlahir?

Pertanyaan ini bukan untuk menjawab, tapi untuk membuat kita berhenti sejenak dari rutinitas yang membius. Di tengah dunia yang sibuk mengukur keberhasilan dari jabatan dan saldo rekening, pertanyaan ini datang seperti angin yang menampar wajah: Jika kita hidup hanya untuk mati, kenapa harus terlahir?

Mungkin karena kita sudah terlalu lama hidup tanpa bertanya.

Camus: Hidup Itu Absurditas, Tapi Kita Tidak Harus Menyerah

Albert Camus menyebut hidup sebagai sesuatu yang absurd—kita manusia ingin makna, tapi alam semesta diam. Lalu apa? Bunuh diri? Tidak. Camus justru bilang kita harus berontak. Hidup bukan untuk menyerah pada kehampaan, tapi untuk menjalaninya dengan kepala tegak, meski kita tahu akhir ceritanya tetap kematian.

Kita seperti Sisyphus yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk jatuh lagi. Tapi dalam tragedi itu, Camus bilang: kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.

Nietzsche: Menciptakan Makna, Bukan Menemukannya

Nietzsche tidak percaya pada makna yang turun dari langit. Menurutnya, Tuhan sudah mati, bukan dalam arti literal, tapi simbolik. Dunia tidak lagi punya nilai absolut yang bisa kita andalkan. Kalau begitu, siapa yang menciptakan makna hidup?

Kita sendiri.

Kitalah yang harus menjadi pencipta, bukan hanya penerima. Bagi Nietzsche, hidup bukan soal menerima kebenaran, tapi menegakkan nilai sendiri di tengah kehampaan. Di sanalah kita menjadi manusia sepenuhnya.

Buddhisme: Terlahir Karena Masih Melekat

Ajaran Buddha punya pendekatan yang berbeda. Kita terlahir bukan karena ditakdirkan, tapi karena masih terikat pada keinginan dan ilusi. Kita lahir karena belum selesai. Belum lepas. Namun hidup juga adalah kesempatan. Untuk sadar. Untuk melepas. Untuk melampaui penderitaan. Mati bukan musuh, tapi bagian dari siklus yang bisa dihentikan; jika kita paham dan tidak lagi melekat.

Jadi, Kenapa Harus Terlahir?

Karena hanya yang hidup bisa bertanya begitu. Dan mungkin itu saja sudah cukup. Kita tidak terlahir untuk mengumpulkan harta, menyenangkan semua orang atau mengisi formulir kesuksesan versi media sosial. Kita terlahir untuk mengalami: patah, sembuh, gagal, bangkit, menangis, jatuh cinta, belajar, kehilangan, berharap dan berpikir. Kita hidup bukan meski akan mati—tapi karena kita akan mati, maka hidup ini mendesak untuk dijalani dengan jujur dan utuh.

Kematian tidak menghapus makna hidup. Justru ia memberi batas, agar kita tidak menunda-nunda menjadi manusia.

Media ini dijalankan secara independen.

dukung kami lewat donasi sukarela.

Klik untuk donasi
Next Post Previous Post
No Comment
Tambahkan Komentar
comment url