Kekuasaan yang Dibeli, Kepemimpinan yang Mati
Di banyak wilayah Indonesia, kita menyaksikan satu pola yang makin mengkhawatirkan: para calon pemimpin yang menggelontorkan uang dalam jumlah besar demi merebut jabatan publik. Fenomena ini seolah sudah menjadi "normal baru" dalam demokrasi elektoral kita. Tapi jika kita berhenti sejenak dan bertanya, kita akan sadar bahwa ini adalah gejala dari kerusakan yang dalam: kekuasaan telah diubah menjadi komoditas, dan rakyat menjadi objek transaksi politik.
Kita tahu bahwa untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota saja, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 20 hingga 30 miliar, sebagaimana pernah diungkap oleh KPK dalam berbagai diskusi publik. Biaya ini meliputi "mahar" kepada partai politik, logistik kampanye, hingga "operasi senyap" untuk membeli dukungan elite dan massa. Maka jangan heran jika setelah terpilih, prioritas utama sang pemimpin bukan melayani rakyat, tapi mengembalikan investasi.
Inilah yang disebut sebagai instrumentalisasi kekuasaan: kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai amanah atau tanggung jawab moral, tetapi sebagai alat mencapai tujuan pribadi atau kelompok. Kekuasaan kehilangan nilai etisnya dan berubah menjadi mesin pencetak keuntungan.
Filsuf politik Jean-Jacques Rousseau sudah mengingatkan kita jauh hari tentang bahaya ini. Dalam karyanya Du Contrat Social, ia menulis:
"The moment a people gives itself representatives, it is no longer free."
(“Begitu suatu rakyat menyerahkan kuasa pada wakil-wakilnya, mereka tidak lagi bebas.”)
Lebih lanjut, Rousseau menegaskan bahwa kekuasaan yang sah hanyalah kekuasaan yang berasal dari kehendak umum (volonté générale), bukan kehendak privat yang disamarkan sebagai pilihan mayoritas. Jika seseorang membeli jalan menuju jabatan, maka kontrak sosial telah rusak sejak awal, karena kehendak rakyat dibajak oleh uang.
Dampaknya nyata: muncul kepemimpinan yang tidak etis, tidak berpihak pada rakyat, dan sering kali terlibat dalam praktik korupsi. Tak heran jika kita melihat banyak pemimpin daerah yang akhirnya ditangkap KPK—bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka memang sejak awal tidak pernah berniat memimpin dengan etika. Kepemimpinan seperti ini adalah hasil dari sistem yang memelihara transaksi, bukan integritas.
Akibat dari rusaknya kontrak sosial ini, rakyat pun makin kehilangan harapan. Mereka melihat politik sebagai panggung sandiwara yang tak ada kaitannya dengan hidup sehari-hari. Dari sinilah tumbuh apatisme, skeptisisme dan keputusasaan kolektif. Demokrasi tanpa etika akhirnya menjadi demokrasi tanpa arah.
Jika kita ingin memulihkan makna kepemimpinan, maka kita harus mulai dari membongkar sistem yang membuat jabatan bisa dibeli. Masyarakat mesti belajar mengenali mana pemimpin yang bekerja dan mana yang hanya “berinvestasi.” Dan yang lebih penting: kita harus mencabut kepercayaan kita dari mereka yang memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan tujuan.
Seperti kata Rousseau: “Orang akan selalu dijajah selama mereka menyerahkan kehendaknya kepada orang lain.” Dan kita telah terlalu lama menyerah.
