Antara Hukum dan Aspirasi: Membaca Pelarangan Aksi Tutup Freeport dalam Perspektif Hans Kelsen
Pelarangan aksi demonstrasi bertajuk “Tutup Freeport” oleh Forum Independen Mahasiswa (FIM) di Nabire baru-baru ini memicu perdebatan publik. Di satu sisi, aparat kepolisian menyatakan bahwa aksi tidak dapat dilanjutkan karena tidak memenuhi syarat administratif sesuai undang-undang. Di sisi lain, mahasiswa menyebut pelarangan itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara rakyat Papua. Bagaimana memahami persoalan ini dalam kerangka hukum dan keadilan?
Kelsen: Hukum Berdiri di Atas Norma, Bukan Emosi
Hans Kelsen, seorang filsuf hukum modern, menyatakan bahwa hukum adalah sistem norma yang bersifat hierarkis. Dalam pandangan Teori Hukum Murni miliknya, hukum dipisahkan dari moral dan politik; hukum berlaku karena dibuat oleh otoritas yang sah, bukan karena dianggap adil atau tidak oleh masyarakat.
Berdasarkan logika ini, pelarangan aksi oleh kepolisian bisa dianggap sebagai pelaksanaan kewenangan formal. Jika syarat administratif seperti identitas penanggung jawab dan jumlah peserta tidak terpenuhi, maka secara prosedural aparat berhak menolak aksi tersebut. Dalam sistem hukum normatif, ini adalah bentuk kepatuhan terhadap aturan.
Namun, Apakah Hukum Selalu Netral?
Meski begitu, pendekatan Kelsen juga mengundang pertanyaan: apakah sistem hukum yang berlaku benar-benar netral di semua konteks, termasuk di Papua yang memiliki sejarah panjang ketidakpercayaan terhadap negara?
Di titik ini, kita bisa melihat bahwa hukum bukan hanya soal norma, tapi juga soal persepsi keadilan oleh masyarakat. Ketika sebuah kelompok merasa dibatasi untuk menyampaikan pendapat, maka walau pelarangan dilakukan secara prosedural, bisa saja muncul kesan ketidakadilan yang lebih dalam: ketimpangan dalam akses terhadap ruang publik.
Menjaga Ketertiban, Mendengar Aspirasi
Dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat dan ketertiban umum memang harus berjalan seimbang. Hukum dibentuk untuk menjaga ketertiban, tetapi ia juga tidak boleh menjadi penghalang bagi aspirasi warga yang sah. Di sisi lain, aspirasi masyarakat pun harus disampaikan dengan cara yang bertanggung jawab dan sesuai aturan.
Dengan kata lain, pelarangan aksi ini menjadi cermin ketegangan klasik antara kepastian hukum dan keadilan substantsi.
Belajar dari Kelsen, Bergerak dengan Bijak
Hans Kelsen mengajarkan pentingnya menghormati hukum sebagai sistem yang mengatur kehidupan bersama. Namun konteks sosial-politik seperti di Papua mengingatkan kita bahwa keadilan tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga dalam pengalaman sehari-hari rakyat.
Karena itu, ke depan, penting bagi semua pihak—baik aparat maupun masyarakat—untuk membangun komunikasi yang jujur dan terbuka. Supaya hukum tidak hanya ditaati, tetapi juga dipercaya.
